Berita
List
Daftar
0



6 years 'ago'
Abu Abu Dalam Biru Langit

Pagi yang ceria, meski Sang Mentari malu-malu menampakkan sinar hangatnya. Musim telah berganti. Memanggil angin mendung, menyibak kabut tebal yang menyelimuti bumi. Begitu sinarnya tiba, semua bahagia, bunga bermekaran, kupu-kupu terbang kian ke mari menghampiri semua kerabatnya untuk diajak menghisap madu pagi. Burung bernyanyi, mengalunkan lagu kerinduan akan hadirnya rintik-rintik hujan.

Putri malu yang semula mengatupkan daunnya, malu kepada malam, kini memekarkan daunnya menyambut sinar mentari yang begitu indah. Suara jangkrik di pinggir sungai, mengerik dengan kerasnya malam tadi, kini mulai pelan, mulai berjalan ke permukaan tanah, seakan dia juga ingin ikut bers*nggama dengan hangatnya pagi. Ayam jantan berkokok membangunkan lamunanku yang sejak tadi membayangkan pertemuanku dengan Dinda kemarin.

Dinda Sekar Arum, ya.. Itu nama lengkapnya. Mungkin tak ada sesosok pria pun yang akan berkedip, manakala melihat paras anggunnya. Sorot matanya tajam, namun lembut, meski dia selalu menunduk ketika berbicara dengan orang lain, justru hanya sesekali dia melihat lawan bicaranya itu, yang membuatku makin tak dapat melupakan paras wajah dengan hijab khasnya. Sebuah perkenalan yang tak sengaja, namun tak terlupakan. Di lorong lantai 2 sebuah gedung di mana kami sedang memegang buku yang sama dalam sebuah pameran buku terbesar di Kota Solo, Solo Book Fair.

Karena saking asyiknya membaca cerpen dalam buku kumpulan cerpen, perlahan aku melangkah, tak sengaja menabrak Dinda dengan setumpuk buku yang dia peluk. Saat itu pula semua bukuku dan bukunya terhambur di lorong lantai itu. Di situlah awal dimana hatiku ini berdetak kencang, seakan terdapat badai yang bergejolak, menggerakkan jantungku untuk berdetak, bergemuruh, rasa dalam hati ini luar biasa.

Seraya meminta maaf, ku bantu dulu Dinda merapikan bukunya, baru ku rapikan bukuku. Saat mengambil bukuku yang terakhir, terdapat 2 buku yang sama judulnya, “Biru Langit” sebuah kumpulan cerpen yang baru ku beli karena sinopsisnya yang begitu memesona. Ternyata satu buku yang lainnya adalah buku Dinda. Di situlah awal dimana obrolan kami terbuka. Ku serahkan buku itu. Dia pun menerimanya, dan bibir lembutnya itu terbuka dengan nada lembut terdengar di telingaku.

“terima kasih..”
“Oh, ya.. sama-sama..” Agak gugup aku menjawabnya, jantungku mengapa juga belum reda berdetak. Namun saat itu ku beranikan untuk mengucapkan sesuatu.
“Mbak suka cerpen juga?” Aku mencoba bertanya sekaligus untuk mengurangi rasa gugupku.

Dia tersenyum, menandakan bahwa dia mengisyaratkan untuk menjawab bahwa dia sangat suka dengan cerpen. Saat itu pun aku juga ikut tersenyum. Tapi yang membuatku lebih kaget manakala dia memasukkan seluruh buku ke dalam tasnya, meletakkan di lantai dan merapatkan kedua telapak tangannya, di depan dadanya seraya berkata, “Perkenalkan, Ana, Dinda Sekar Arum, salah satu penulis di kumpulan cerpen ‘Biru Langit’ itu..”

“Oh.. ya.. Saya Ahmad Umar Dhani, panggil saja Ahmad.” Aku pun ikut merapatkan telapak tanganku di dada. “Wah beruntung dong saya, dapat bertemu langsung salah satu penulisnya.. kalau begitu boleh saya minta tanda tangan Mbak di buku ini?” pintaku dengan harapan agar dapat ngobrol lebih jauh dengan sosok wajah yang begitu sempurna ini.

“Ah Antum begitu menyanjung, Ana hanya penulis tambahan, bukan penulis inti buku itu.. kebetulan kami aktif di organisasi penulis cerpen dan cerpen Ana kebetulan saja dimuat bersama penulis utama buku itu..”

Entah apa yang dia sampaikan ucapannya begitu samar-samar terdengar, aku tak begitu memperhatikan. Ketika Dia terus berkata-kata, aku hanya tersenyum melihat bibirnya, wajahnya yang ceria, gerakan tanggannya yang dia angkat-turunkan secara berkala, entah pikiranku terbang ke mana, membayangkan keindahan dan kesempurnaan wanita di hadapanku. Tanpa kata-kata lain ketika Dia berbicara hanya ku amini dengan jawaban.
“Oh.. ya..”
“Oh.. jadi begitu..”
“Ya.. ya..ya..”

Obrolan kami usai ketika dia mengambil sesuatu di sakunya. Sebuah kartu nama, berwarna kuning keemasan, berisi nama dan alamat lengkap. Di situ tertera jelas, nama yang terukir indah, berbeda dengan tulisan lainnya, Dinda Sekar Arum, S.S. Seakan ukiran nama itu juga terukir di hatiku, dan ingin rasanya ku ukir bersama namaku di surat undangan pernikahanku kelak.

Dalam hati aku bergumam, “Pasti akan ku hubungi sesering mungkin, secepat mungkin, dan setiap saat..”
“Di balik kartu nama Ana, juga terdapat organisasi dimana kami sering nulis cerpen bareng, jika Antum berminat silakan bergabung dengan kami..”
“Oh.. ya.. tentu, saya pasti datang.. dan terima kasih untuk semuanya, sekali lagi maaf ya atas kejadian tadi..” Jawabku, meski sebenarnya aku masih berharap untuk dapat banyak ngobrol lagi dengannya.

Dia pun hanya mengangguk, tersenyum, membungkukkan badannya di depanku seraya berkata, “Permisi, Assalamualaikum..” Ku jawab dengan perlahan, “Waalaikum salam..”

Sejak saat itu, lamunanku selalu tertuju padanya. Bahkan pada saat aku ke luar gedung itu, tak sengaja aku melihat wajah Dinda di depan gedung. Dia berkata, “Terima kasih atas kunjungan Anda..” Begitu ku kedipkan mataku ternyata dia itu SPG Gedung. Saat pulang, ku kendarai mobilku, saat berada di perempatan jalan, melihat Polwan dengan hijabnya yang khas, aku lagi-lagi terbayang.. bahkan hingga malam menjelang tidur aku begitu susah memejamkan mata meski telah berdoa, agar dalam mimpiku aku dapat bertemu dengan Dinda

utakatikotak
0
utakatikotak
utakatikotak
utakatikotak