Home » Kongkow » Tahukah Kamu » Terungkap! 4 Sebab Gaji Guru Indonesia Selalu Rendah

Terungkap! 4 Sebab Gaji Guru Indonesia Selalu Rendah

- Selasa, 06 Februari 2018 | 13:00 WIB
Terungkap! 4 Sebab Gaji Guru Indonesia Selalu Rendah

Setiap 25 November, kita memperingati Hari Guru Nasional, sebagai tanda berdirinya organisasi guru PGRI di tahun 1945. Pada peringatan tahun ini, Mendikbud Muhadjir Effendy menyorot kualitas guru kita yang masih jauh dari harapan.

Apa yang diungkapkan oleh Menteri Muhadjir memang fakta yang tidak perlu dibantah, dan soalan ini menjadi pekerjaan utama setiap menteri. Muhadjir dalam peringatan Hari Guru Nasional 2016 di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kemarin menyebut salah satu cara untuk meningkatkan profesionalitas guru adalah memberikan tunjangan profesi. Dengan cara ini, Muhadjir berharap guru bisa khusyuk menekuni dunia akademik tanpa menoleh ke sana dan ke mari mencari pekerjaan tambahan untuk mengisi kantong yang selalu kosong.

Memang tidak ada jaminan bahwa dengan menaikkan gaji guru kualitas pendidikan kita lantas membaik. Akan tetapi, guru-guru kita, terutama guru swasta dan honorer, yang dibayar sangat murah adalah fakta. Jika ditelusur, ada beberapa sebab mengapa guru-guru kita berharga sangat murah, bahkan gaji bulanan mereka jauh di bawah gaji office boy di perkantoran atau pelayan minimarket.

Termakan stereotipe

Guru sering mendapat stereotipe pahlawan tanpa tanda jasa. Mitologisasi ini sudah menjadi ideologi di benak banyak guru, sehingga mereka selalu malu-malu untuk meminta gaji pantas demi menghidupi keluarga mereka.

Mereka merasa guru pantas dibayar murah karena di benak mereka guru adalah profesi yang menuntut keikhlasan tanpa syarat. Akhirnya mereka diam saja dibayar jauh di bawah UMR. Padahal, faktanya, mereka menggerutu di belakang, apalagi di medsos.

Akhirnya, yang terjadi, banyak guru mengerjakan proyek-proyek sambilan yang tidak terkait dengan akademik. Dampaknya, kemampuan mereka sebagai guru jauh di bawah standard karena tidak pernah memiliki kesempatan memperbaiki kualitas diri; seperti mengajar tanpa metodologi, kemampuan menguasai pelajaran yang minimal, tak sempat memeriksa PR siswa, kelelahan di kelas, dan sejumlah fakta lain yang banyak kita lihat.

Profesi terakhir

Bagi banyak orang, guru ternyata profesi buangan karena mereka tidak sanggup bekerja di tempat lain. “Saya tidak punya keahlian lain, bisanya cuma ngajar,” ungkap seorang guru di daerah.

Pernyataan di atas sangat mencekam, bagi kita yang peduli dengan kualitas pendidikan. Bagaimana mungkin orang tanpa keahlian apa-apa lalu menjadi guru. Maka, wajar jika anak didik hasil kebanyakan sekolah di Indonesia lulus tanpa membawa kemahiran apa-apa. Mereka hanya sekadar tahu, tanpa keahlian apa pun. Itu pun masih bersyukur jika pengetahuan mereka tentang sebuah hal tidak tersesat.

Karena guru adalah profesi pilihan terakhir, akibatnya mereka seolah menerima segala konsekwensi, termasuk gaji rendah. Jadinya, mereka sendiri secara profesional merasa pantas dibayar rendah, meskipun tahu bayaran tersebut tak cukup.

Hati mereka menjadi pengecut untuk sekadar buka suara atau demonstrasi meminta upah layak karena takut dipecat; pemecatan adalah mimpi buruk bagi setiap orang yang tak memiliki keahlian apa-apa untuk pekerjaan lain.

Guru sebagai profesi terakhir bagi banyak orang juga tampak dari demonstrasi menuntut status PNS. Pola demosntrasi ini aneh, mengapa orang menuntut majikan (dalam hal ini negara) untuk menjadikannnya karyawan. Seharusnya yang dituntut adalah upah yang layak, bukan status. Ini semakin jelas bahwa yang sebagian guru inginkan sebenarnya hanya status yang aman—PNS adalah pekerjaan paling aman dari pemecatan, membuktikan rendahnya skill mereka.

Abainya pemerintah  

Terkait upah di dunia pendidikan, harus diakui pemerintah tak melakukan kontrol. Ratusan ribu sekolah menggaji guru-guru tanpa ada kesepakan dengan pemerintah setempat, bandingkan dengan korporasi-korporasi dalam menetapkan standard upah.

Belum pernah ada cerita pemerintah melakukan teguraan kepada sekolah soal upah. Padahal, banyak sekolah berdiri berbasis kalkulasi bisnis, tidak ada bedanya dengan korporasi. Disparitas gaji guru lokal dan asing di sekolah-sekolah elit—yang membuat pilu—juga tidak pernah menjadi isu pemerintah.

Di sisi lain, pemerintah juga kurang upaya untuk monitoring dan menaikkan mutu guru Indonesia. Jika dihadapkan dengan negara lain, misalnya Filipina, guru kita dihargai jauh lebih rendah, karena dianggap kurang mutu. Padahal, guru-guru kita yang mengajar di sekolah internasional adalah anak bangsa terbaik, sedangkan orang asing yang mengajar di Indonesia kadang-kadang karena kalah saing di negara mereka sendiri.

Coba perhatikan beberapa sekolah internasional di Indonesia, beda gaji guru Filipina dan Indonesia 5 hingga 10 kali lipat. Kita jangan membandingkan dengan guru Singapura, Korea, Jepang atau guru Eropa dan AS, guru kita bukan level mereka.

Tak pernah satu suara

Di sekolah, guru-guru kita sering mengajarkan kompetisi kepada anak-anaknya. Misalnya, sistem ranking di kelas, sebentar-sebentar ikut lomba, hanya siswa pemenang lomba yang dielu-elukan, dan aktivitas sejenis lainnya. Akibatnya, mereka sendiri suka sibuk bersaing dengan sesama guru.

Akhirnya, mereka sulit memiliki satu suara, termasuk soal standard gaji. Bandingkan dengan kekompakan buruh dalam memperjuangkan hak mereka untuk mendapat standard upah minimum.

Anda pasti mengelus dada jika mengetahui rata-rata gaji guru Indonesia, termasuk yang mengajar di beberapa sekolah berlabel internasional di Jakarta. Kebanyakan gaji mereka sebulan hanya setara bayaran rata-rata PSK mahasiswi sekali booking.

Ini sangat menghina, tetapi para guru sendiri tak pernah kompak untuk menetapkan standard minimal upah mereka. Terkadang mereka juga mau saja dieksploitasi pemilik sekolah untuk bekerja dengan berbagai mitologisasi seperti ikhlas, pengabdian, kekeluargaan dan sejenisnya.

Guru PNS merasa aman dan tak perlu peduli dengan bayaran seuprit guru honorer yang sama-sama mengajar di satu sekolah; guru swasta yang bergaji bagus, tak peduli dengan guru swasta lain yang gajinya hanya untuk dapat hidup seminggu, dan seterusnya. Guru tidak memiliki kesadaran kelas dan perasaan senasib sepenanggungan, sebagaimana yang mereka ajarkan sendiri di kelas.

Cari Artikel Lainnya