Home » Kongkow » Tahukah Kamu » Mengenal 2 Cagar Biosfer Unesco baru di Indonesia

Mengenal 2 Cagar Biosfer Unesco baru di Indonesia

- Selasa, 30 Juli 2019 | 13:45 WIB
Mengenal 2 Cagar Biosfer Unesco baru di Indonesia

Pemandangan aerial perkampungan Suku Bajo di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah.

Pemandangan aerial perkampungan Suku Bajo di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah. Andre Djohan /Shutterstock

Badan Pendidikan, Sains, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa Bangsa (Unesco), Rabu (19/6/2019), menetapkan dua kawasan Cagar Biosfer (Biosphere Reserves) baru di Indonesia, yakni Teluk Saleh-Pulau Moyo-Gunung Tambora (Samota) di Nusa Tenggara Barat dan Togean Tojo Una-Una di Sulawesi Tengah.

Keputusan tersebut diumumkan dalam The International Co-ordinating Council (ICC) of the Man and Biosphere (MAB) Programme Meeting ke-31 yang berlangsung di Paris, Prancis, 17-21 Juni 2019. Penambahan dua kawasan tersebut menggenapkan jumlah Cagar Biosfer Unesco di Indonesia menjadi 16 tempat.

Kawasan lain di Indonesia yang lebih dulu ditetapkan sebagai Cagar Biosfer Unesco adalah Cibodas (penetapan tahun 1977), Komodo (1977), Lore Lindu (1977), Tanjung Puting (1977), Gunung Leuser (1981), Siberut (1981), Giam Siak Kecil-Bukit Batu (2009), Wakatobi (2012), Bromo-Tengger-Semeru-Arjuno (2015), Taka Bonerate-Kepulauan Selayar (2015), Belambangan (2016), Berbak-Sembilang (2018), Batang Kerihun Danau Sentarum (2018), serta Rinjani Lombok (2018).

Berikut ini paparan singkat mengenai dua Cagar Biosfer Unesco terbaru di Tanah Air.

Jantung segitiga terumbu karang

Seorang nelayan di Kadidiri, Togean, Sulawesi Tengah (28/10/2009), tampak mempersiapkan perahunya untuk melaut.

Seorang nelayan di Kadidiri, Togean, Sulawesi Tengah (28/10/2009), tampak mempersiapkan perahunya untuk melaut. Stefano Barzellotti /Shutterstock

Cagar Biosfer Togean Tojo Una-Una terletak di Teluk Tomini, kawasan bagian utara Provinsi Sulawesi Tengah. Luasnya mencapai 2.187.632 hektare (ha) dan berada tepat di jantung Segitiga Terumbu Karang. Menurut Presiden ICC-MAB Unesco, Enny Sudarmonowati--yang juga Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)--kawasan tersebut memiliki keanekaragaman karang tertinggi di dunia, serta hutan bakau dan ekosistem 483 pulau kecil.

Dirinya menjelaskan, Togean Tojo Una-Una adalah rumah bagi 363 spesies tanaman, termasuk 33 spesies mangrove. “Juga habitat hewan seperti tarsius (Tarsius spectrum palengensis), monyet Togean (Macaca togeanus), serta babirusa, kuskus, duyung, paus dan lumba-lumba,” terang Enny dalam situs resmi LIPI.

Ada pula 596 spesies ikan terumbu karang yang menghuni kawasan taman nasional tersebut. Selain itu, daerah ini juga merupakan tempat pemijahan penting bagi penyu dan ikan. Kawasan ini dihuni 149.214 orang dengan keanekaragaman budaya yang luar biasa.

Ditambah pemandangan alam yang indah, TN Togean telah lama menarik para peminat wisata alam, baik dari dalam maupun luar negeri. Status sebagai cagar biosfer pastinya bakal menarik lebih banyak wisatawan, juga peneliti, untuk mendatangi wilayah tersebut.

Jaringan Ekowisata Togean (JET) menyambut baik penetapan Unesco itu, tetapi mengingatkan bahwa status sebagai cagar biosfer belum menjamin adanya dampak langsung terhadap pemberdayaan masyarakat lokal.

Koordinator JET, Ahmad Rasyid Lahunga, dalam Kailipost (19/6), berharap agar status baru ini bisa mendorong pemerintah untuk lebih memberdayakan masyarakat dan mengembangkan perekonomian kerakyatan.

Sisi positif dari status baru ini, menurut Ahmad, akan memperkuat upaya konservasi ekosistem dan keanekaragaman hayati di TN Togean. "Sekaligus mempromosikan secara luas kegiatan ekowisata berbasis masyarakat ke dunia internasional," katanya.

"Harapannya, status CB (cagar biosfer) bisa mendukung adanya mekanisme integrasi dan kerja sama antar-stakeholder dalam menangani masalah kritis di bidang lingkungan, seperti illegal fishing dan illegal logging," tambah lelaki yang telah 20 tahun berkecimpung di dunia ekowisata tersebut.

Kawasan Samota, cagar biosfer kedua di NTB

Pemandangan Taman Nasional Tambora, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.

Pemandangan Taman Nasional Tambora, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. M. Rinandar Tasya /Shutterstock

Bagi Provinsi NTB, kawasan Samota menjadi cagar biosfer kedua yang ditetapkan Unesco dalam dua tahun beruntun setelah Rinjani-Lombok tahun lalu. Cagar Biosfer Samota terletak diantara dua Cagar Biosfer yang sebelumnya ada yakni Rinjani Lombok dan Pulau Komodo di Nusa Tenggara Timur. "Cagar Biosfer Samota meliputi area seluas 724.631,52 hektar yang terdiri dari lima ekosistem utama meliputi pulau-pulau kecil, kawasan pantai hutan bakau, pesisir, hutan dataran rendah dan pegunungan, serta sabana," papar Enny Sudarmonowati.

Enny menambahkan, daerah inti Cagar Biosfer Samota memainkan peran penting dalam melestarikan keanekaragaman hayati di kawasan itu. "Zona penyangga dan daerah transisinya memiliki potensi pertanian untuk produksi buah dan sayuran, serta padi, kopi dan kakao, dan peternakan." Tambora adalah stratovolcano aktif yang letusannya pada 5 April 1815 menjadi salah satu erupsi terbesar sepanjang sejarah Bumi. Suara letusannya terdengar hingga Pulau Sumatra dan debu vulkaniknya menyebar ke Eropa.

Perubahan udara di Eropa akibat langit yang tertutup debu dikatakan sebagai salah satu penyebab kekalahan Napoleon dalam perang di Waterloo, Belgia, pada Juni 1815. Pemerintah NTB, dikutip Antaranews, berharap status Cagar Biosfer tersebut bisa membantu melindungi lingkungan dan mempercepat peningkatan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat setempat.

Apa itu Cagar Biosfer?

Cagar Biosfer, seperti dijelaskan dalam situs Unesco, adalah area ekosistem daratan dan pantai yang mempromosikan solusi untuk menjaga kelangsungan keanekaragaman hayati di dalamnya melalui pemanfaatan kawasan yang berkelanjutan. Status kawasan ini diakui oleh dunia internasional namun tetap dalam yurisdiksi pemerintah di mana kawasan itu berada.

"Cagar biosfer dalam beberapa hal berfungsi sebagai 'laboratorium hidup' untuk menguji dan mendemonstrasikan manajemen tanah, air, dan keanekaragaman hayati yang terintegrasi," terang Unesco. Program ini berawal dari Konferensi Biosfer pada 1968 dan kemudian diterapkan mulai 1970 dengan peluncuran Program MAB Unesco.

Kawasan yang mendapatkan status ini akan mendapat perhatian lebih dari masyarakat internasional, terutama dalam hal menarik dana tambahan untuk melestarikan atau mengembangkannya. Cagar Biosfer juga akan menjadi tempat belajar para ahli dalam hal mengeksplorasi keanekaragaman hayati, menerapkan program-program konservasi lahan dan pembangunan berkelanjutan.

Hasil yang didapat kemudian bisa dicoba untuk diterapkan di wilayah lain. Saat ini ada 701 Cagar Biosfer yang tersebar di 124 negara, termasuk 21 kawasan lintas batas negara. Semuanya terhubung dalam World Network of Biosphere Reserves (WNBR), tempat di mana mereka berbagi informasi, pengetahuan, pengalaman, hingga bertukar personel.

Cari Artikel Lainnya