Home » Kongkow » Tahukah Kamu » 5 Dampak Buruk Akibat Stress Bagi Otak

5 Dampak Buruk Akibat Stress Bagi Otak

- Jumat, 31 Maret 2017 | 15:44 WIB
5 Dampak Buruk Akibat Stress Bagi Otak

Kita semua pasti akrab dengan kata stres. Stres dapat terjadi setiap hari dan bisa datang dalam berbagai bentuk. Stres di lingkungan keluarga, pekerjaan ataupun sekolah dapat terjadi mungkin karena masalah kesehatan, keuangan ataupun hubungan interpersonal. Saat kita menghadapi sebuah masalah atau ancaman, tubuh dan pikiran akan ikut bereaksi antara keduanya berusaha untuk menghadapi masalah tersebut ataupun menghindari masalah.

Anda mungkin pernah mendengar bagaimana efek samping dari stres terhadap tubuh dan pikiran seseorang. Stres dapat menimbulkan permasalahan pada fisik seperti sakit kepala dan nyeri dada. Stres uga dapat merusak mood seseorang seperti menimbulkan kecemasan atau kesedihan. Bahkan jika stres berada di level yang sudah cukup parah dapat mempengaruhi masalah perilaku dari makan secara berlebihan hingga marah yang meledak-ledak.

Apa yang Anda mungkin tidak tahu adalah bahwa stres juga dapat memiliki dampak serius pada otak. Saat mengalami stres, otak Anda akan berjalan melalui serangkaian reaksi (beberapa reaksi baik dan yang lainnya berdampak buruk) yang secara otomatis akan bekerja untuk melindungi seseorang dari potensi ancaman.

Para peneliti telah menemukan bahwa kadang-kadang stres dapat membantu mempertajam cara berpikir dan meningkatkan kemampuan untuk mengingat tentang apa yang terjadi. Dalam kasus lain, stres dapat menghasilkan berbagai efek negatif pada otak mulai dari masalah penyakit mental hingga menyusutnya volume otak.

Mari kita lihat lebih dekat 5 hal buruk yang dapat terjadi pada otak akibat stres.

Stres kronis membuat Anda lebih rentan terhadap penyakit mental

Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan di jurnal Molecular Psychiatry, para peneliti menemukan bahwa stress kronis dalam jangka panjang mempengaruhi terhadap perubahan pada otak. Perubahan pada otak ini, menurut para peneliti, berperan penting dalam menjelaskan mengapa orang-orang yang mengalami stres yang kronis lebih rentan terhadap gangguan mood dan masalah kecemasan.

Para peneliti dari University of California, Berkeley melakukan serangkaian percobaan untuk melihat dampak stres yang kronis pada otak. Mereka menemukan bahwa stres menciptakan sel mielin lebih banyak, tetapi neuron yang lebih sedikit dari biasanya. Gangguan karena kelebihan mielin pada otak menyebabkan gangguan pada masalah keseimbangan dalam berkomunikasi seseorang.

Secara khusus, para peneliti ingin melihat bagaimana stres mempengaruhi hippocampus otak. Mereka mengatakan bahwa stres mungkin berperan dalam perkembangan gangguan mental seperti depresi dan berbagai gangguan emosional.

Stres mengubah struktur otak

Hasil percobaan oleh para peneliti dari University of California - Berkeley mengungkapkan bahwa stres kronis juga dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi otak.

Otak terdiri dari neuron dan sel pendukung lainnya, yang dikenal sebagai "gray matter" yang bertanggung jawab pada pekerjaan yang sangat penting seperti pengambilan keputusan dan pemecahan masalah. Tetapi otak juga mengandung apa yang dikenal sebagai "white matter" yang terdiri dari berbagai akson yang menghubungkan setiap bagian pada otak untuk berkomunikasi berbagi informasi.

White matter dinamakan demikian karena sebuah selubung putih yang dikenal sebagai mielin yang mengelilingi akson memiliki tugas mempercepat sinyal listrik yang digunakan untuk berkomunikasi informasi di seluruh otak.

Kelebihan produksi myelin karena stres yang kronis tidak hanya mengakibatkan perubahan otak dalam jangka waktu pendek (keseimbangan antara white matter dan gray matter) tetapi juga dapat menyebabkan perubahan dalam struktur otak.

Dokter dan para peneliti sebelumnya telah mengamati bahwa orang yang menderita gangguan stres pasca-trauma juga memiliki kelainan pada otak termasuk ketidakseimbangan dalam gray matter dan white matter.

Psikolog Daniela Kaufer, mengatakan tidak semua stres berdampak buruk pada otak. Ada juga stres yang baik yang justru membantu seseorang untuk bekerja lebih baik dalam menghadapi tantangan, dan membuat seseorang lebih tahan banting. Namun, pada kasus stres yang kronis dan dalam waktu yang panjang, yang terjadi adalah sebaliknya.

Stres membunuh sel di otak

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dari Rosalind Franklin University of Medicine and Science, para peneliti menemukan bahwa acara stres karena masalah sosial bisa membunuh neuron baru di hippocampus otak.

Hippocampus adalah salah satu bagian otak yang sangat terkait dengan memori, emosi, dan belajar. Bagian otak ini juga adalah salah satu dari dua area otak dimana neurogenesis, atau pembentukan sel-sel otak baru, terjadi.

Dalam percobaan, tim peneliti ditempatkan tikus muda dalam kandang dengan dua tikus yang lebih tua selama 20 menit. Tikus muda itu kemudian mengalami ancaman dari tikus yang lebih dewasa. Pemeriksaan selanjutnya dari tikus muda ditemukan bahwa mereka memiliki tingkat hormon kortisol hingga enam kali lebih tinggi daripada tikus yang tidak mengalami stres.

Pemeriksaan lebih lanjut mengungkapkan bahwa tikus muda yang mengalami stres yang memiliki jumlah neuron yang sama dengan yang tidak mengalami stres, mengalami penurunan jumlah sel saraf seminggu kemudian. Dengan kata lain, stres dapat berdampak pada pembentukan neuron baru

Jadi, betul bahwa stres bisa membunuh sel-sel otak, tapi apakah ada sesuatu yang bisa dilakukan untuk meminimalkan dampak dari stres?

Langkah selanjutnya yang ingin di lakukan eksperimen oleh para peneliti adalah mereka ingin mengetahui apakah obat anti depresi atau kegiatan seperti meditasi dapat menjaga neuron baru tetap hidup atau tidak saat menghadapi stres.

Stres membuat otak menyusut

Pada orang-orang yang sehat, stres dapat menyebabkan penyusutan di daerah otak yang berhubungan dengan emosi, metabolisme, dan memori.

Banyak orang berpikir bahwa stres yang intens hanya dapat terjadi saat mereka mengalami peristiwa yang mengubah hidup mereka (seperti bencana alam, kecelakaan, atau meninggalnya orang yang mereka cintai). Namun, para peneliti tidak setuju, mereka mengatakan bahwa stres pada kehidupan sehari-hari justru berdampak lebih parah daripada itu semua.

Dalam sebuah eksperimen, peneliti dari Universitas Yale mengumpulkan 100 peserta yang sehat dan sering mengalami peristiwa stres dalam kehidupan mereka. Para peneliti mengamati bahwa orang yang mengalami stres bahkan orang yang benar-benar baru mengalami stres menghasilkan gray matter yang lebih kecil di prefrontal cortex, sebuah bagian otak yang berhubungan dengan kontrol diri dan emosi.

Stres dalam kehidupan sehari-hari mungkin berdampak kecil pada masalah volume otak, tapi jika terjadi setiap hari justru hal ini dapat membuat otak lebih mudah menyusut saat mereka menghadapi masalah yang sangat berat hingga stres yang traumatik.

Menariknya, tim peneliti juga menemukan bahwa berbagai jenis stres menghasilkan efek yang berbeda pada otak. Stres saat kehilangan pekerjaan atau mengalami kecelakaan mobil cenderung mempengaruhi kesadaran emosional.

Kejadian yang traumatik seperti kematian dari orang yang di cintai atau mengalami sakit yang serius berdampak pada masalah mood.

Stres berdampak pada memori

Jika Anda pernah mencoba untuk mengingat rincian peristiwa stres, Anda mungkin akan menyadari bahwa kadang-kadang stres dapat membuat Anda sulit untuk mengingat sesuatu. Bahkan stres yang kecil dapat berdampak langsung pada memori Anda. Jika Anda sering lupa dimana Anda menaruh kunci mobil atau gadget Anda, mungkin saja itu terjadi akibat stres.

Pada tahun 2012, dilakukan sebuah studi yang menemukan bahwa stres yang kronis berdampak negatif pada memori spasial, atau kemampuan untuk mengingat informasi lokasi objek tertentu (seperti menaruh kunci, dll). Sebelumnya juga telah dijelaskan pada eksperimen yang dilakukan pada tikus, hormon kortisol mempengaruhi short term memory tikus tersebut.

Stres memang pasti menjadi salah satu bagian di dalam kehidupan seseorang yang tidak dapat dihindari, tetapi para peneliti percaya bahwa dengan memahami bagaimana dan mengapa stres dapat berdampak pada otak, mereka dapat menggunakan informasi tersebut untuk menghindari atau mencegah dari dampak buruk stres bagi otak.

Sumber :
Cari Artikel Lainnya