Home » Kongkow » Tahukah Kamu » Guruku

Guruku

- Selasa, 31 Januari 2017 | 09:51 WIB
Guruku

Hari Guru adalah hari untuk menunjukkan penghargaan terhadap guru dan diperingati pada tanggal yang berbeda-beda di setiap negara. Di Indonesia sendiri peringatan Hari Guru Nasional jatuh pada tanggal 25 November. Untuk internasional sejak tahun 1994, Hari Guru sedunia itu diperingati tiap tanggal 5 Oktober.

Hari Guru Nasional bukan merupakan hari libur resmi, tetapi dirayakan dalam bentuk upacara peringatan di sekolah-sekolah dan pemberian tanda jasa kepada guru, kepala sekolah, dan perangkat sekolah lainnya. HGN ini diperingati bersamaan dengan perayaan ulang tahun Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Ini bermula dengan perjuangan para guru Tanah Air melalui Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) pada 1912. Organisasi unitaristik ini beranggotakan para guru bantu, guru desa, kepala sekolah, dan pemilik sekolah. Umumnya mereka bertugas di Sekolah Desa dan Sekolah Rakyat Angka Dua. Di masa yang sama, berkembang juga organisasi guru dengan beragam latar belakang seperti keagamaan, kebangsaan, dan lainnya.

Sekitar dua dekade kemudian Nama PGHB berubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Penambahan kata “Indonesia” mengejutkan pemerintah Belanda. Pasalnya, kata tersebut mencerminkan semangat kebangsaan.

Kesadaran kebangsaan dan semangat perjuangan mendorong para guru pribumi memperjuangkan persamaan hak dengan pihak Belanda. Secara bertahap, jabatan Kepala HIS (Hollandsch Inlandsche School atau sekolah Belanda untuk bumiputera) mulai diambil alih orang Indonesia. Akhirnya, terbitlah cita-cita kesadaran bahwa perjuangan para guru Indonesia tak lagi tentang perbaikan nasib maupun kesamaan hak dan posisi dengan Belanda, tetapi memuncak menjadi perjuangan nasional.

Pemerintah Jepang melarang semua organisasi dan menutup semua sekolah dan membungkam PGI Pada masa tersebut. Barulah setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, PGI kembali menggeliat. Kongres Guru Indonesia digelar pada 24–25 November 1945 di Surakarta. Para peserta kongres sepakat menghapuskan semua organisasi dan kelompok guru berlatar belakang perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama, dan suku. Inilah cikal bakal bersatunya guru-guru yang aktif mengajar, pensiunan yang aktif berjuang, dan pegawai pendidikan Republik Indonesia yang baru dibentuk.

Mereka akhirnya meresmikan kelahiran Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pada 25 November 1945. Sejak saat itu, pemerintah menetapkan hari lahir PGRI sebagai Hari Guru Nasional dan menjadikannya momentum penghormatan kepada para pahlawan tanpa tanda jasa di Tanah Air.

Guruku…

Sebentar lagi engkau akan berulang tahun. Aku mencoba termenung mengingat dan membuka lembaran-lembaran memori yang masih erat dibenakku. Dua belas tahun yang lalu ketika aku pertama kali mengenal kata “Guru” dan untuk pertama kalinya aku menginjakkan kakiku di tempat yang bernama “Sekolah” Dengan rasa takut dan malu-malu aku menghampirimu.

Guruku…

Senyummu yang sehangat matahari pagi dan dengan sapaanmu yang merdu menghapus itu semua. Kau mengajariku arti berbagi dengan sesame, menumbuhkan rasa empati dan tolong-menolong. Dengan sabar dan ketekunan yang penuh, kau mengajariku huruf demi huruf hingga terangkai kata demi kata. Kau mengajariku nilai-nilai keislaman, dari mulai berbagi, berwudhu, sholat, mengaji, hingga berpuasa.

Guruku…

Tak terasa, tiga tahun sudah berlalu. Dengan diiringi derai air mata, engkau melepasku. Saat itu aku heran. Mengapa engkau bersedih melepasku? Bukankah harusnya engkau senang aku menjadi lebih besar dan pintar? Pertanyaan itu baru bisa terjawab sekarang. Ternyata ada ikatan emosi yang luar biasa hebatnya antara seorang guru dengan muridnya.

Guruku…

Memasuki jenjang yang lebih tinggi di bidang pendidikan, aku sudah tidak gamang lagi denganmu. Berkat kasih sayangmu dalam mendidik dan mengajariku. Engkau mengajariku mengolah berbagai macam angka, membuat sebuah karangan hingga berbicara di depan umum. Engkau melakukan semua itu dengan sabar, tetapi semua itu aku pandang sebelah mata. Aku baru sadar bahwa itu adalah tugas yang sangat berat, menjadi seorang guru. Kemudian, enam tahun sudah kita lewati. Kita tertawa bersama, senang bersama, hingga sedih juga bersama. Sungguh indah masa-masa itu. Ketika kita bertemu di kelas untuk yang terakhir kalinya, engkau melakukan itu lagi. Kau meneteskan air matamu lagi. Kali ini aku mulai mengerti mengapa engkau lakukan itu setiap ada kata “perpisahan”.

Guruku…

Mungkin engkau bukanlah manusia yang sempurna. Aku teringat ketika engkau memarahi aku. Tetapi, aku anggap itu adalah sebuah perilaku yang sangat bijaksana untuk mengingatkanku kembali ke jalan yang benar. Memang, emosimu kadang-kadang tidak terkontrol. Tetapi penyebab itu semua adalah kami. Sungguh, bagiku engkau merupakan sosok manusia yang hampir sempurna.

Sekarang aku sudah beranjak dewasa. Alhamdulillah aku bisa melewati masa-masa mencari identitas diriku dengan baik. Itu semua berkat jasa-jasamu, guruku. Kau senantiasa mengingatkanku untuksholat lima waktu di masjid, shaum sunnah Senin-Kamis, bahkan hingga sholat lail. Ini semua yang mengawal masa remajaku hingga berjalan dengan baik.

Guruku…

Betapa luar biasanya jasa-jasmu. Engkau sangat cerdas saat memposisikan dirimu. Kadag, bertindak seperti orang tua yang selalu membimbing dan mengayomi. Di lain sisi, engkai bisa berperan sebagai seorang sahabat yang selalu siap memberi dukungan dan solusi atas setiap masalah yang ada kapan saja. Bahakan, diluar jam sekolah.

Rangkaian doa-doa yang tulus selalu mengalir dari bibirmu selalu menyertai setiap langkah dalam hidupku. Harapan-harapan yang terbaik selalu kau tanamkan dalam jiwaku. Nilai-nilai “kejujuran” selalu kau patrikan dalam sanubariku. Bahkan tantangan demi tantangan engkau berikan padaku agar keak aku menjadi manusia yang tegar dan mandiri. Yaitu “ manusia yang tak lapuk oleh hujan dan tak lekang oleh panas.”

Guruku…

Terkadang aku sedih melihat nasibmu. Manakala ada siswa berprestasi engkau tidak pernah tampil sebagai pahlawan. Namun sebaliknya, manakala ada siswa berperilaku buru maka semua tangan menunjukmu sebagai biang keladinya. Bahkan manakala ada oknum guru yang khilaf (kekerasan pada siswa), seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu maka seantero nusantara akan mengathuinya lewat media massa. Hal ini tentulah tidak adil. Ibarat kata pepatah, “Nila setitik rusak susu sebelanga.”

Yaa Allah berikanlah guruku ini kesabaran dalam menghadapi semua ujian dan tantangan. Dan berikanlah pual kekuatan untuk terus dapat menyebarkan ilmunya. Berkahilah rizkinya agar dia bisa berjuang terus dengan optimal. Lindungilah keluarganya agar dia mampu melindungi anak didiknya. Panjangkanlah umurnya supaya mereka bisa mencetak pemimpin-pemimpin masa depan yang cerdas dan berhati nurani. Kelak pada gilirannya akan menggantikan pemimpin kotor yang sedang merajalela saat ini. Semoga masa depan bangsa ini menjadi seperti apa yang kita semua harapkan. Amien.

Guruku…

Dengan mengingat semua “jasa-jasamu,” aku lama termenung memikirkan cara yang terbaik untuk membalasnya sekaligus mengimbanginya. Namun, ternyata selalu saja kandas. Hadiah dan ungkapan terima kasih tidaklah cukup untuk menebus semua itu………….

Cari Artikel Lainnya