Home » Kongkow » Catatan » Kartini, Antara Kebaya dan Edukasi Habis Gelap Terbitlah Terang

Kartini, Antara Kebaya dan Edukasi Habis Gelap Terbitlah Terang

- Jumat, 21 April 2017 | 08:57 WIB
 Kartini, Antara Kebaya dan Edukasi Habis Gelap Terbitlah Terang

Kartini identik dengan perempuan berpakaian kebaya, rambut dikonde, dan mendirikan sekolah. Menurut Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, gagasan pemikiran Kartini lebih dalam dari semua itu.

"Kita sempat terbangun image kalau Hari Kartini itu artinya pakai kebaya dari anak PAUD sampai dewasa, kantor-kantor pakai kebaya," kata Khofifah dalam acara 'Panggung Para Perempuan Kartini' di Jakarta, Selasa 11 April 2017. "Tapi kita semua sebetulnya teredukasi dari buku 'Habis Gelap Terbitlah Terang'."

Frasa 'gelap' dan 'terang' pada buku terbitan Balai Pustaka yang diterjemahkan oleh Armijn Pane itu, menurut Khofifah, mesti dipahami lagi lebih dalam, khususnya apa yang gelap dan terangnya seperti apa. Dari surat-surat yang dikirimkan Kartini kepada sahabat penanya di Belanda, dia menangkap kedalaman pengetahuan, pemikian, dan keingintahuan Kartini tentang apa yang terjadi.

Khofifah mengira, banyak orang yang terkejut ketika tahu kalau dalam suratnya, Kartini juga bercerita tentang pajak yang tidak adil, bahaya narkoba, sampai kehidupan antar dan internal umat beragama. "Ini mungkin tidak terbayang bagi masyarakat Indonesia," ujarnya.


Sementara itu, aktris Dian Sastro yang berperan sebagai Kartini dalam film yang disutradarai Hanung Bramantyo, mengatakan mengambil tiga pelajaran dari Kartini. Tiga pelajaran itu adalah kelas kasta, kesetaraan gender, dan kritik atas warisan budaya yang sudah tidak relevan. '
Mengenai kelas kasta, Dian Sastro mengatakan sangat kentara bagaimana pembedaan antara orang yang berdarah ningrat atau kaum bangsawan dengan rakyat biasa. Kesetaraan gender, khususnya di bidang pendidikan juga mengemuka karena Kartini membuat anak bangsa melek huruf dan tak pandang bulu apakah itu laki-laki ataupun perempuan.

Pelajaran ketiga mengenai sejumlah pakem yang dikritisi Kartini, yang dianggap kontraproduktif dan melanggengkan feodalisme. "Saya melihat Kartini sebagai pejuang yang menjadi tonggak perubahan dari pejuangan fisik menjadi perjuangan pemikiran. Setelah Kartini, lalu ada Boedi Oetomo dan seterusnya," kata Dian Sastro.

Cari Artikel Lainnya