Home » Kongkow » Catatan » Kado 'Buku Sejarah' untuk Sang Ratu Dapur

Kado 'Buku Sejarah' untuk Sang Ratu Dapur

- Kamis, 22 Desember 2016 | 10:23 WIB
 Kado 'Buku Sejarah' untuk Sang Ratu Dapur

Kebanyakan ibu menyandang predikat sebagai ratu dapur. Lewat tangannya, bahan baku yang dibeli di supermarket atau pasar lantas diolah menjadi makanan untuk disantap segenap anggota keluarga.

Biasanya, di hari istimewa layaknya Hari Ibu yang dirayakan saban 22 Desember, si ratu dapur mendapat kado berupa buku resep masak terbaru dari orang-orang terdekat. Tapi kado buku resep saja tidak cukup. Ibu juga perlu tahu sejarah kuliner.

Bila anda belum memiliki ide kado apa yang akan diberikan untuk sang ratu dapur tepat di Hari Ibu, agaknya buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia yang ditulis oleh Fadly Rahman bisa menjadi salah satu alternatif kado menarik.
Secara runtun, buku yang diluncurkan sepekan lalu di Jakarta ini memaparkan tentang perjalanan kuliner Nusantara yang bukan instan. Butuh era demi era untuk mengkreasikan, hingga resepnya dapat diwariskan dari generasi ke generasi.

Berdasarkan catatan sejarah yang dikumpulkan Fadly, setidaknya ada tiga era yang menjadi titik perkembangan kuliner di Tanah Air. Ketiga era, yaitu: masa kuno atau lampau, masa kolonial atau penjajahan, dan masa kemerdekaan.

Akar pembentukan kuliner di Indonesia berlangsung sejak era kuno atau lampau. Hal itu ditandai dengan usaha masyarakat menemukan dan menciptakan aneka makanan dengan memanfaatkan sumber daya pangan di lingkungan sekitarnya.

Cita rasa autentik itu kemudian terkena pengaruh global dengan masuknya bangsa China, India, Arab, dan Eropa yang menjejakkan kaki di Indonesia pada abad ke-18. Boga di Indonesia pun ‘berevolusi,’ memunculkan jenis-jenis bahan makanan baru.

Pasca era kemerdekaan, muncul penyusunan buku masak nasional pertama hingga kuliner Indonesia berkembang sampai saat ini. Buku sederhana dengan kertas koran, kadang tanpa foto atau gambar, melainkan diilustrasikan dengan sketsa.

"Perkembangan makanan di Indonesia adalah kelanjutan dari fase perkembangan sejak masa kuno hingga kolonial yang berlangsung menemu-ciptakan dan membarui makanan," kata Fadly saat peluncuran bukunya di Kedai Tjikini, Jakarta, pada akhir pekan lalu.

Menurut Dosen Sejarah Universitas Padjajaran ini, makanan di Indonesia sudah terakulturasi dan dimodifikasi sesuai kebutuhan. Dia mencontohkan perkedel. Makanan itu awalnya datang dari Prancis dan Belanda dengan bahan utama daging babi.

Setelah melalui proses penghalalan, kini perkedel menggunakan bermacam bahan seperti kentang dan jagung. Ada kalanya ditambah bahan baku lain. Perkedel kentang ditambah daging sapi cincang, dan perkedel jagung ditambah irisan udang.

Dalam pemaparannya soal sejarah kuliner Indonesia, Fadly sempat berseloroh soal fakta Indonesia dijajah oleh Belanda. Menurutnya, tidak ada yang bisa dibanggakan dari kuliner Belanda dibandingkan Prancis, Italia, Spanyol, dan Inggris,

Belanda, sebagaimana dikatakan Fadly, “mewarisi ketidakpekaan dalam memodifikasi pangan.” Sedikit, atau bahkan nyaris tidak ada, yang bisa dibanggakan dari kuliner Belanda. Beberapa yang lumayan populer, macaroni schotel dan sosis.

Tertinggal Dibanding Negara Tetangga

Fadly menyusun buku ini lantaran gelisah melihat fenomena kuliner Indonesia yang tertinggal dari Thailand, Malaysia dan Singapura. Salah satu penyebabnya, menurut Fadly, tidak ada stok informasi sejarah dan kebudayaan yang berfokus pada kuliner.

Sementara negara tetangga, dikatakan Fadly, memiliki banyak studi yang membuat promosi kuliner mereka berhasil go internasional. Selain itu, kebijakan pemerintah juga turut memengaruhi kemajuan pangan Indonesia.

Menurut Fadly, pemerintah harus bisa memperkuat ketahanan pangan, karena saat ini kondisinya semakin berkurang. Ia menyarankan perlu ada kerja sama antara pemerintah, peneliti, akademisi, ahli gizi untuk memperkuat kuliner Indonesia.

Indonesia, kata Fadly, punya potensi kuliner yang bisa mendunia, misalnya melalui rendang yang sudah ditabalkan menjadi salah satu makanan terlezat di dunia. Intinya, kekayaan sejarah, budaya, dan cita rasa kuliner Indonesia perlu dipertahankan dan dilestarikan sebagai identitas bangsa.

Cari Artikel Lainnya