Home » Kongkow » Sejarah » Indonesia Pada Masa Reformasi

Indonesia Pada Masa Reformasi

- Selasa, 09 November 2021 | 16:09 WIB
Indonesia Pada Masa Reformasi

Pada tahun 1997, krisis ekonomi yang melanda Thailand, mulai berdampak pada perekonomian Indonesia. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS mulai merosot hingga Rp 15.000/dollar. Harga-harga kemudian melambung tinggi, jumlah utang luar negeri mencapai 163 miliar dollar AS lebih, pengangguran dan kemiskinan penduduk meningkat tajam, banyaknya bank bermasalah, pertumbuhan ekonomi minus 20% – 30%, dan KKN dikalangan para pejabat Pemerintah menyebabkan krisis kepercayaan dari masyarakat. Kondisi krisis ekonomi dan krisis kepercayaan rakyat terhadap pemerintah ini kemudian mendorong ribuan mahasiswa turun ke jalan untuk berdemonstrasi. Tuntutan para mahasiswa adalah sebagai berikut.

  • Pemerintah segera mengatasi krisis ekonomi.

  • Menuntut dilaksanakannya reformasi di segala bidang.

  • Menuntut dilaksanakannya sidang istimewa MPR.

  • Meminta pertanggungjawaban presiden.

Pada 12 Mei 1998, terjadi Tragedi Trisakti, empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembak oleh aparat keamanan saat berdemonstrasi yang kemudian dikenal sebagai pahlawan reformasi.

Baca juga: Indonesia di Masa Demokrasi Terpimpin

Reformasi memiliki arti pembaharuan. Pada masa reformasi masyarakat banyak mengahrapkan adanya perubahan dan perbaikan dalam segala bidang kehidupan. Istilah reformasi digunakan sebagai istilah untuk menyebut kekuasaan setelah kejatuhan Orde Baru hingga sekarang masih disebut sebagai zaman reformasi.

Kepresidenan Habibie (1998–1999)

Setelah pengunduran diri Soeharto, Wakil Presiden B.J. Habibie dilantik sebagai presiden dan melakukan berbagai reformasi politik. Pada Februari 1999, pemerintahan Habibie mengesahkan Undang-Undang Partai Politik yang mencabut pembatasan jumlah partai politik (parpol). Sebelumnya, pada masa Soeharto, hanya tiga parpol yang diperbolehkan. Parpol juga tidak diwajibkan berideologi Pancasila. Hal ini mengakibatkan partai politik bermunculan dan 48 di antaranya akan bersaing dalam pemilihan legislatif 1999.

Pada Mei 1999, pemerintahan Habibie mengesahkan Undang-Undang Otonomi Daerah yang merupakan langkah pertama dalam desentralisasi pemerintahan Indonesia dan memungkinkan provinsi-provinsi untuk lebih berperan dalam mengatur daerahnya. Pers lebih dibebaskan pada pemerintahan Habibie, meskipun Kementerian Penerangan tetap dipertahankan. Tahanan politik seperti Sri Bintang Pamungkas, Muchtar Pakpahan, dan Xanana Gusmão juga dibebaskan atas perintah Habibie.

Pada era Habibie juga dilangsungkan pemilihan umum legislatif 1999, yang merupakan pemilihan bebas pertama sejak pemilu legislatif 1955. Pemilu ini diawasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independen, bukan komisi pemilihan yang diisi menteri-menteri pemerintah seperti yang terjadi pada masa Orde Baru.

Habibie juga menyerukan referendum untuk menentukan masa depan Timor Timur. Tindakan ini mengejutkan banyak orang dan membuat marah beberapa orang. Pada tanggal 30 Agustus, penduduk Timor Timur memilih untuk merdeka. Lepasnya provinsi ini merugikan popularitas dan aliansi politik Habibie.

Masa Kepresidenan Abdurrahman Wahid (1999-2001)

Dalam rangka mendirikan koalisi yang luas, Wahid menunjuk anggota dari berbagai partai politik serta perwira TNI sebagai menteri untuk kabinetnya. Tapi komposisi yang beragam ini juga mengimplikasikan kurangnya kohesi dalam kabinet dan, terlebih lagi, hanya berisi beberapa tokoh reformis saja. Wahid melakukan upaya untuk mengurangi peran politik TNI namun hal ini menyebabkan konflik dan kemudian hilangnya dukungan dari TNI.

Tanpa dukungan dari TNI, hanya ada sedikit cara untuk bertahan sebagai presiden Indonesia yang saat itu dilanda konflik dan kekerasan di banyak daerah. Kerusuhan-kerusuhan di daerah ini membutuhkan intervensi TNI namun karena konflik dengan Wahid, TNI tampaknya tidak tertarik menyelesaikan atau mengintervensinya yang mengakibatkan merosotnya kekuasaan Presiden Wahid.

Baca juga: Indonesia Pada Masa Orde Baru

Kasus-kasus korupsi tampaknya masih sangat sering terjadi. Pada tahun pertamanya sebagai presiden, Wahid memecat tujuh menteri yang semua - diduga - terlibat dalam kasus korupsi. Empat dari menteri-menteri tersebut berasal dari empat mitra koalisi yang paling penting: PDI-P, Golkar, PPP dan PAN. Ini membuat Wahid menjadi semakin terisolasi. Dan - lebih parah lagi - Wahid sendiri juga dikaitkan dengan dua skandal korupsi yang akhirnya menyebabkan pemakzulannya. Kedua skandal itu dikenal sebagai 'Buloggate' dan 'Bruneigate', masing-masing melibatkan ketidakjelasan penggunaan dana publik. MPR Indonesia melihat ini sebagai kesempatan besar untuk memakzulkan Wahid dan Megawati kemudian ditunjuk menjadi presiden, sementara Hamzah Haz (pemimpin PPP) menjadi wakil presiden yang baru.

Masa Kepresidenan Megawati Soekarnoputri (2001-2004)

Menjelang akhir pemerintahan Orde Baru Suharto, almarhum Ir Soekarno (Presiden Indonesia yang pertama) menjadi simbol oposisi terhadap pemerintah. Soekarno adalah pahlawan nasional yang telah mengabdikan hidupnya untuk - dan berhasil - mencapai kemerdekaan. Sebagian besar pengunjuk rasa anti-Suharto lahir selama rezim Orde Baru yang berlangsung selama lebih dari tiga dekade dan karena itu mereka mungkin hanya memiliki sedikit pengetahuan mengenai era pra-Suharto. Tetapi bagi mereka Soekarno mewakili kebebasan, kemerdekaan dari Suharto. Oleh karena itu menjadi logis bahwa puterinya, Megawati, bisa mengandalkan dukungan besar dari masyarakat.

Namun, dukungan ini hanya didasarkan pada statusnya sebagai puteri Soekarno dan tidak didasarkan pada visi politiknya maupun keterampilannya. Kabinetnya tidak banyak berbeda dari kabinet awal Wahid: berisi basis partai-partai yang beragam dan perwira TNI juga terwakili dengan baik. Megawati sendiri tidak melakukan banyak pengambilan keputusan, dia menyerahkannya pada para menterinya. Tidak ada tanda-tanda bahwa masalah korupsi ditangani sementara status quo dalam pemerintahan berlanjut.

Namun, meskipun Megawati sendiri tidak tampak sangat mendukung reformasi politik, proses reformasi sebenarnya telah dirintis pada tahun 1999 ketika parlemen mulai merancang banyak UU baru (termasuk amandemen-amandemen konstitusi) yang akan berlaku efektif selama kepresidenan Megawati. Langkah-langkah reformasi ini menyiratkan peningkatan signifikan dalam checks and balances demokratis yang mengakhiri kemungkinan kembalinya rezim otoriter. Kebijakan-kebijakan reformasi ini menempatkan kekuasaan di tangan rakyat, bukan Pemerintah Pusat. Selain itu, cabang-cabang eksekutif dan legislatif dipisahkan dengan lebih ketat.

Baca juga: Indonesia Pada Masa Demokrasi Parlementer

Pendahulu Megawati (Wahid) melakukan upaya kuat untuk mengurangi pengaruh TNI (yang benar-benar melemahkan posisinya), tetapi Megawati tidak berniat untuk ikut campur dengan urusan TNI. Akibatnya, TNI kembali mendapatkan sejumlah pengaruh dalam politik. Apalagi, perkembangan internasional juga meningkatkan peran TNI. Setelah serangan 11 September 2001 terhadap Menara Kembar di New York, pemerintah Amerika Serikat melanjutkan kerjasama dengan militer Indonesia (yang sempat terhenti sejak partisipasi TNI dalam kekerasan di Timor Timur di tahun 1999) untuk memerangi terorisme internasional.

Meskipun MPR telah berhati-hati dalam mengurangi peran politik tentara, Panglima Besar TNI lah yang menyatakan pada tahun 2004 bahwa fraksi TNI harus dihapuskan dari MPR. Seorang perwira TNI yang ingin aktif dalam dunia politik harus mengundurkan diri terlebih dulu dari posisinya di TNI. Reformasi ini direalisasikan tetapi tidak berarti mengakhiri pengaruh politik TNI dalam masyarakat Indonesia. Hingga saat ini, TNI adalah kekuatan yang besar karena para mantan jenderal yang ingin aktif dalam politik masih bisa mengandalkan jaringan di dalam TNI, apalagi, tentara masih terlibat dalam kegiatan-kegiatan usaha di daerah.

Kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono (2004–2014)

Pemilu Presiden Indonesia 2004 merupakan pemilu pertama yang memilih pasangan presiden dan wakil presiden secara langsung. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla memenangi pemilu setelah melewati dua putaran pemilihan. Pada 21 Oktober 2004, SBY mengumumkan susunan Kabinet Indonesia Bersatu.

Dua bulan setelah SBY menjabat, gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia 2004 melanda Aceh dan negara-negara lain di sepanjang garis pantai Samudra Hindia. Tiga bulan kemudian, gempa susulan memicu tsunami di Pulau Nias. Pada tahun 2006, Gunung Merapi meletus dan disusul gempa bumi di Yogyakarta.

Indonesia juga mengalami wabah flu burung dan semburan lumpur Sidoarjo. Pada tahun 2007, banjir besar melanda Jakarta. SBY mengizinkan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso membuka pintu air Manggarai dengan risiko membanjiri Istana Kepresidenan.

Pada 1 Oktober 2005, bom bunuh diri terjadi di pulau Bali. Kelompok Islam militan Jemaah Islamiyah diduga berada di balik serangan tersebut, meskipun penyelidikan polisi masih dilakukan. Kelompok tersebut juga bertanggung jawab atas bom Bali 2002. SBY mengutuk serangan itu serta berjanji untuk "memburu para pelakunya dan membawa mereka ke pengadilan".

Pada tahun 2005, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,6% yang kemudian menurun menjadi 5,5% pada tahun 2006. Inflasi mencapai 17,11% pada tahun 2005, tetapi menurun menjadi 6,6% pada tahun 2006.

SBY juga mengalokasikan lebih banyak dana untuk mengurangi kemiskinan. Pada tahun 2004, 18 triliun rupiah dalam APBN dialokasikan untuk mengentaskan kemiskinan, yang meningkat menjadi 23 triliun pada tahun 2005 dan 51 triliun pada tahun 2006. Pada bulan Maret dan Oktober 2005, SBY membuat keputusan untuk memotong subsidi bahan bakar yang menyebabkan kenaikan harga bahan bakar. Masyarakat miskin diberi kompensasi dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT), tetapi pemotongan subsidi kemudian menurunkan popularitas SBY. Pada Mei 2008, kenaikan harga minyak turut mendorong keputusan SBY untuk sekali lagi memotong subsidi BBM, yang menjadi penyebab protes masyarakat pada Mei dan Juni 2008.

Pada pemilu presiden 2009, SBY terpilih untuk masa jabatan kedua bersama Boediono, mantan Gubernur Bank Indonesia. Mereka mengalahkan dua kandidat: Megawati Soekarnoputri–Prabowo Subianto dan wakil presiden saat itu, Jusuf Kalla–Wiranto. Pasangan SBY–Boediono memenangkan pemilu dengan lebih dari 60% suara nasional pada putaran pertama. Mereka lalu mengumumkan susunan Kabinet Indonesia Bersatu II pada 21 Oktober 2009.

Pada Oktober 2010, Gunung Merapi meletus, menewaskan 353 orang. Sementara itu, gempa bumi dan tsunami juga melanda Kepulauan Mentawai.

Kepresidenan Joko Widodo (sejak 2014)

Pada pemilu presiden 2014, Joko Widodo (Jokowi) bersama dengan Jusuf Kalla (yang kembali dicalonkan sebagai wakil presiden) mengalahkan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Jokowi adalah presiden pertama tanpa latar belakang politik atau militer yang tinggi. Dalam kampanye pemilu 2014, Jokowi berjanji akan meningkatkan pertumbuhan PDB hingga 7% dan mengakhiri kebijakan bagi-bagi kursi (memberikan jabatan pemerintahan pada koalisi politiknya), meski janji tersebut belum terpenuhi. Pada masa pemerintahannya, rupiah mencapai rekor terendah dalam 20 tahun terakhir.

Pernyataan kontroversial yang diucapkan oleh mantan wakil gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan Muslim saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Sejumlah protes dilancarkan sebagai tanggapan atas ucapan Ahok oleh berbagai kelompok Islam pada November dan Desember 2016 di Jakarta. Belakangan, pemerintahan Jokowi melarang organisasi Hizbut Tahrir Indonesia.

Ada kekhawatiran akan menurunnya kebebasan berekspresi selama periode ini, terbukti dengan penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan banyak orang karena aktivitas media sosial mereka yang diartikan sebagai "penghinaan" kepada presiden.

Beberapa bencana seperti gempa bumi (di Palu, Lombok, dan Banten) dan kabut asap akibat deforestasi di Kalimantan dan Sumatra terjadi selama periode pemerintahan Jokowi. Pengeboman terkait ISIS juga terjadi di Jakarta dan Surabaya.

Pada Maret 2018, Badan Pusat Statistik melaporkan angka kemiskinan di Indonesia sebesar 9,82 persen, turun dari Maret 2017 yang sebesar 10,64 persen. Ini adalah pertama kali tingkat kemiskinan di Indonesia turun hingga di bawah dua digit. Sebelumnya, angka kemiskinan selalu di atas 10 persen, bahkan mencapai 23,4 persen pada 1999 pascakrisis 1997–1998.

Pada 17 April 2019, Indonesia mengadakan pemilihan umum serentak. Untuk pertama kalinya, pemilihan dilakukan terhadap presiden dan wakil presiden, serta anggota DPR, DPD, dan DPRD secara bersamaan. Pemilu ini digambarkan sebagai "salah satu pemungutan suara satu hari paling rumit dalam sejarah global". Jokowi dan calon wakil presiden Ma'ruf Amin mengalahkan Prabowo dan pasangannya, Sandiaga Uno. Pemilu ini diikuti oleh protes dan kerusuhan di bulan Mei yang mengakibatkan setidaknya delapan pengunjuk rasa tewas. Pada 16 Agustus 2019, empat puluh tiga pelajar Papua di Surabaya, Jawa Timur ditangkap oleh polisi setelah adanya laporan bahwa bendera Indonesia dirusak di luar gedung tempat mereka tinggal, yang menyebabkan protes di Papua dan bagian lain Indonesia. Serangkaian demonstrasi massa yang dipimpin oleh mahasiswa terjadi di kota-kota besar Indonesia pada September 2019 untuk memprotes undang-undang baru yang mengurangi kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta beberapa RUU lainnya. Protes tersebut kemudian berkembang menjadi gerakan mahasiswa terbesar di Indonesia sejak demonstrasi tahun 1998 yang menjatuhkan rezim Suharto.

Penyakit koronavirus 2019 (COVID-19), yang sedang berlangsung di seluruh dunia, pertama kali dikonfirmasi menyebar ke Indonesia pada 2 Maret 2020. Hingga 5 November 2020, virus ini telah mengakibatkan lebih dari 14.000 kematian di Indonesia. Pada akhir 2020, pandemi menyebabkan perekonomian jatuh ke dalam resesi untuk pertama kalinya dalam 22 tahun. Pada Oktober 2020, sejumlah protes meluas di seluruh Indonesia setelah DPR mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja yang kontroversial.

Cari Artikel Lainnya