Home » Kongkow » Inspiratif » Grandprix, Si Calon Doktor Termuda dari Timur Indonesia

Grandprix, Si Calon Doktor Termuda dari Timur Indonesia

- Kamis, 20 April 2017 | 10:00 WIB
Grandprix, Si Calon Doktor Termuda dari Timur Indonesia

Tokoh komik Sinchan adalah favorit seorang Grandprix Thomryes Marth Kadja. Meski Sinchan terkesan menjengkelkan, bagi Grandprix, sosok itu menginspirasi sang calon doktor termuda Indonesia ini, untuk selalu berpikir yang berbeda dalam memandang sesuatu.

“Saya punya koleksinya lengkap. Bahkan di komputer kerja saya ada tempelan stiker Shincan,” katanya, seperti diceritakan pihak Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, kepada CNN Student, baru-baru ini.

Sinchan boleh saja disepelekan orang. Tapi tidak dengan Grandprix. Sebentar lagi pemuda ini bakal menyandang predikat dokter termuda di Indonesia, jika penelitiannya selesai pada akhir tahun ini atau awal tahun depan. Saat itu usianya baru 24 tahun.

Grandprix berasal dari kawasan timur. Tinggal di wilayah timur Indonesia dengan topografi ekstrem dan jarak dari desa ke kota yang amat jauh, tak membuat nyalinya untuk jadi seorang peneliti, mengkeret.

Sebaliknya, dukungan orangtua yang menghadirkan budaya diskusi dan membaca di rumah, membuat Grandprix tumbuh menjadi sosok yang haus bacaan dan topik baru dalam diskusi.

Dia meraih gelar sarjana kimia dari Universitas Indonesia pada 2013. Beasiswa PMDSU dari Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi mengantarnya melanjutkan studi ke Institut Teknologi Bandung pada jurusan yang sama.   

Ramah, humble, dan easygoing, tetapi selalu diliputi kegelisahan dan rasa ingin menemukan gagasan baru yang berguna bagi bangsa. Begitulah gambaran sosok Grandprix.

Suasana keilmuan di ITB, khususnya di laboratorium tempatnya bekerja menjadi faktor utama pendukung keberhasilan dirinya dalam berkarya. Hingga saat ini, ia telah menerbitkan 9 publikasi ilmiah: satu publikasi berskala nasional dan delapan publikasi berskala internasional. Sebanyak 7 dari 8 publikasi internasional yang dihasilkannya terindex Scopus.

Tak banyak anak muda bisa mencapai apa yang dicapai Grandprix. Bahkan, sekelas Lektor Kepala dan Profesor pun belum banyak yang dapat melakukannya. Rahasianya, kata dia, harus memaksa diri sendiri, dengan tidak membuang banyak waktu untuk kegiatan yang dianggapnya kurang penting. Misalnya berselancar di media sosial.

Di bawah bimbingan Dr. Rino R. Mukti, Grandprix dan rekan-rekannya membangun budaya riset demi menghasilkan penelitian berkelas internasional tanpa melulu mesti bergantung pada laboratorium di luar negeri.

Setiap hari Grandprix memaksa diri selalu datang ke laboratorium kimia untuk mengerjakan penelitian, dimulai pada pukul 08.00 dan pulang minimal pukul 16.00. Saat senggang ia memilih membaca jurnal.

“Baca jurnal bagi saya itu wajib. Apalagi di ITB, akses dapetin jurnalnya juga mudah. Sayangnya, kebanyakan dari kita manfaatinnya cuma buat unduh saja. Unduhnya 100 jurnal, bacanya hanya 2 jurnal,” katanya.

Meski proses menulis jurnal itu sulit, Grandprix mampu mengirim dua jurnal dalam setahun. Tak semua diterbitkan. Kadang dia dikritik pedas, tak jarang juga ditolak.

“Kalau sudah direject, stresnya bukan main,” ujarnya. Motivasi diri sendiri dan pembimbing membuatnya mampu memperbaiki tulisan sampai akhirnya bisa diterbitkan.
 
Sebetulnya, sebelum menerima beasiswa PMDSU, Grandprix sempat mendapat tawaran melanjutkan studinya di Korea Selatan. Namun, dia merasa tertantang untuk meneliti di dalam negeri dengan hasil yang levelnya internasional.

Situasi yang terbatas juga membuatnya terbiasa berinovasi. Dia mengatakan sering menemukan peneliti hebat Indonesia yang studi di luar negeri, ketika kembali ke tanah asalnya justru seperti kebingungan.

Menurutnya, masalah utamanya ada pada keengganan untuk mulai beradaptasi di lingkungan dengan akses serba terbatas. Sehingga banyak dari mereka yang malah ketika kembali menjadi kurang produktif menulis paper, jurnal ilmiah, atau mempublikasikan penelitian dalam skala nasional atau internasional.
 
Mengenai beasiswa PMDSU, Grandprix berharap agar program tersebut terus diselenggarakan. Alasannya, selain sebagai upaya menjawab kebutuhan ilmuwan dan doktor berkualitas yang ada di Indonesia, program ini juga bisa menjadi ajang pembuktian Indonesia kepada dunia bahwa Pendidikan Tinggi di Indonesia pun, kini, telah mampu melahirkan ilmuwan-ilmuwan muda lokal, tetapi berskala internasional.

Cari Artikel Lainnya