Home » Kongkow » kongkow » Rapor Merah DPR: Galak ke KPK, Mesra dengan Rezim Jokowi

Rapor Merah DPR: Galak ke KPK, Mesra dengan Rezim Jokowi

- Senin, 30 September 2019 | 08:40 WIB
Rapor Merah DPR: Galak ke KPK, Mesra dengan Rezim Jokowi

Cemas meruap di Gedung Merah Putih pada Jumat malam, 13 September 2019, menjelang pukul delapan. Pekik 'hidup KPK' yang sesekali menggema dari para pegiat antikorupsi, tak mampu menghapus suasana muram di dalam gedung.

Wajah-wajah tegang di barisan pimpinan komisi antirasuah terekam jelas ketika Ketua KPK Agus Rahardjo membuka keterangan pers. Agus berdiri diapit Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dan Laode Muhammad Syarif.

Suara Agus datar. Tanpa kekuatan. 

Kalimat pertama yang terlontar adalah keprihatinan terhadap kondisi pemberantasan korupsi. 

"KPK rasanya seperti dikepung dari berbagai macam sisi," kata Agus.

Kalimat pembuka itu adalah respons KPK terhadap Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat yang beberapa jam sebelumnya menunjuk Irjen Firli Bahuri sebagai Ketua KPK periode 2019-2023. Komisi III juga memilih empat pimpinan KPK lain yaitu Alexander Marwata, Lili Pintauli Siregar, Nawawi Pomolango, serta Nurul Ghufron.

Pemilihan Firli memantik kecemasan lantaran yang bersangkutan diduga melakukan pelanggaran etik berat ketika menjabat Deputi Penindakan KPK pada 2018 lalu.

Suasana tegang di Gedung Merah Putih pada Jumat malam tak menjalar ke gedung DPR. Tiga hari kemudian, Senin (16/9), rapat paripurna mengesahkan Firli cs sebagai pimpinan KPK periode 2019-2023.

DPR kembali mengambil langkah kontroversial. 

Sehari berselang para wakil rakyat mengesahkan Rancangan Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menjadi undang-undang. Persetujuan diambil dalam Rapat Paripurna kesembilan tahun sidang 2019-2020.

Pengesahan Firli dan Revisi UU KPK menjadi pukulan telak bagi KPK dan masyarakat sipil pegiat isu antirasuah. Ibarat pertarungan, pukulan telak itu diterima dalam kondisi kaki dan tangan terikat. Ya, baik KPK maupun masyarakat sipil mengklaim tak pernah dilibatkan dalam proses pemilihan Firli cs dan pengesahan RUU KPK. 

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah membantah klaim tersebut. Dalam kasus RUU KPK, Fahri saat ditemui di ruang kerjanya, menekankan bahwa proses pembahasan RUU KPK telah berlangsung selama hampir 10 tahun, tepatnya sejak 2010 di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Dia mengakui RUU KPK sempat ditunda pada era SBY, 2012 silam serta Jokowi pada 2015 lalu. Namun, Fahri menegaskan DPR tak pernah mengeluarkan RUU KPK dari daftar program legislasi nasional (Prolegnas). 

Pembahasan pun dilakukan secara terus menerus. Bahkan, Fahri berkata ada masa ketika DPR ditolak memasuki kampus saat hendak mensosialisasikan RUU KPK.

"Jadi selama 10 tahun pembahasan berlangsung terus. Kami sudah undang KPK, LSM, semua sudah kami undang," kata Fahri kepada CNNIndonesia.com. 

Pengamat politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menyebut DPR dan pemerintah seakan sengaja memilih mengesahkan RUU KPK di akhir masa jabatan.

Pertimbangan utama dari pilihan itu disebut Arya karena DPR dan pemerintah tak lagi dibebani risiko politik, terutama ketakutan tidak terpilih kembali pada masa jabatan berikutnya.

Arya mengatakan risiko tidak terpilih lagi bisa muncul jika RUU KPK disahkan di tengah masa jabatan atau menjelang Pemilu 2019. 

"Sekarang, pemilu sudah selesai. Presiden sudah terpilih. Caleg-caleg sudah dilantik. Mau apa lagi?" kata dia.

Pengabaian aspirasi rakyat dan masyarakat sipil dalam kasus pemilihan Firli dan Revisi UU KPK adalah salah satu cermin wajah parlemen periode 2014-2019.

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20190918162147-32-431642/rapor-merah-dpr-galak-ke-kpk-mesra-dengan-rezim-jokowi

Cari Artikel Lainnya