Jadikan Pekerjaan sebagai Hobi

Oleh : Marissa Putri - 10 July 2019 10:00 WIB

Ingin sukses berkarier dan tidak merasa terbebani pekerjaan? Jadikanlah pekerjaan sebagai hobi. Percayalah, jika melakukan hal itu, Anda bisa menangani pekerjaan secara lebih mudah, tanpa beban, dan dengan kreativitas tinggi.

Itulah salah satu kunci sukses Tato Miraza, direktur utama PT Aneka Tambang Tbk (Antam), dalam mengarungi karier dan kehidupannya. “Jadikan pekerjaan sebagai hobi, bukan beban. Jika pekerjaan dijadikan hobi, kreativitas akan tercipta dengan sendirinya,” katanya di Jakarta, baru-baru ini.

Pria kelahiran Jakarta, 9 Februari 1968 ini awalnya tak pernah membayangkan bakal menjadi orang nomor satu di perusahaan pelat merah sekaliber Antam. Apalagi perusahaan itu berstatus tercatat di bursa saham (listed company). “Awalnya saya memang hanya memiliki keinginan sederhana, yaitu menjadi manajer,” tuturnya.

Dari berbagai pengalaman yang dilaluinya, Tato memetik banyak hikmah bahwa untuk mencapai sebuah tujuan, seseorang harus fokus pada prosesnya, bukan tujuan itu sendiri. “Setelah semua dilakukan, biarlah mekanisme Ilahi yang bekerja,” ujarnya. Berikut wawancara dengannya.

Mengapa Anda memilih bidang pertambangan?
Dulu, saya ingin menjadi dokter. Pilihan pertama saya saat mendaftar kuliah adalah fakultas kedokteran Universitas Indonesia (UI). Itu karena gengsi terhadap istri saya. Waktu itu dia masih menjadi pacar. Saya bilang, saya juga bisa kok menjadi dokter. Dia terlalu pintar bagi saya. Dia masuk fakultas kedokteran bebas tes. Saya bisa juga, tapi harus belajar keras. Dia masuk Universitas Airlangga, saya mendaftar di UI.

Waktu membaca pengumuman sipenmaru (sistem penerimaan mahasiswa baru, Red), saya kira diterima di UI, tapi malah di Institut Teknologi Bandung (ITB). Pilihan kedua di tambang. Setelah masuk fakultas, baru ada penjurusan. Salah satu dosen senior saya bilang, kalau mau agak mikir-mikir dikit, masuklah metalurgi. Kalimat itu mendorong saya memilih jurusan metalurgi.

Kebetulan waktu SMA saya benci pelajaran kimia, karena saya selalu dikasih nilai tujuh oleh guru kimia. Entah kenapa, dia enggak kasih angka lebih dari tujuh walaupun saya tahu bahwa nilai saya sebenarnya bagus. Itu bikin saya dongkol. Eh, ketika masuk ITB, masuk metalurgi, ternyata isinya banyak kimia. Saya sering flashback. Kenapa begini. Waktu SMA, saya sudah bongkar-pasang mesin mobil punya ayah saya.

Cerita Anda bergabung dengan Antam?
Sebetulnya lebih ke idealisme, menuruti keyakinan hati nurani. Awalnya saya ingin bekerja di bank. Tapi setelah tes di semua bank, enggak ada yang terima. Sebagian bank yang saya coba tes itu ternyata akhirnya kolaps. Jadi, saya bersyukur, untung enggak menjadi pegawai bank.

Kemudian saya memutuskan untuk bekerja di salah satu perusahaan gas. Gajinya tinggi dan saya dikirim ke luar negeri. Baru seminggu bekerja sudah dikirim ke luar negeri. Dapat customer, tapi kok begitu mudahnya. Nah, dalam pencarian jati diri itu, saya enggak tenang. Ada yang aneh. Ada sesuatu kok mudah sekali mendapatkannya.

Akhirnya saya putuskan untuk keluar. Saya coba bergabung dengan BUMN lain, tapi value-nya enggak dapat di sana. Akhirnya saya bergabung dengan Antam meski gajinya lebih rendah dari BUMN itu. Di Antam, ternyata saya mendapat value. Saya meyakini itu.

"Value" seperti apa?
Value pertama yang penting bagi saya, kalau bekerja, saya harus senang. Kemudian harus menantang dan harus harmoni. Saya tahu, kalau bekerja di BUMN harus sabar. Berbeda dengan bekerja di swasta. Dalam lima tahun atau tujuh tahun, kalau menonjol bisa menjadi direktur.

Saya pernah bekerja di perusahaan multinasional. Setahun bekerja, saya diangkat menjadi manajer. Tapi itu ada batasnya. Untuk posisi direktur atau presiden direktur enggak bisa karena harus bule (orang asing, Red). Itu kanpilihan hidup. Di Antam, saya suka dan itu dunia saya. Saya belajar metalurgi di ITB. Pertambangan itu dunia saya. Saya juga suka alam. Saya ditempatkan di luar Jawa.

Saya pikir waktu itu, ngapain hiruk-pikuk di Jawa, mesti naik bus kota, naik kereta. Setahun saya di sini (kantor Antam di Jl TB Simatupang, Jakarta Selatan). Saya tinggal di Bogor dan naik kereta api setiap pagi, berimpitan, dikejar-kejar waktu. Makanya saya minta pindah ke daerah, ke Pomalaa, Sulawesi Tenggara.

Di sana saya bisa rileks dengan keluarga dan bisa bekerja lebih tekun. Saya belajar banyak hal, bukan hanya ilmu perusahaan, tapi juga ilmu sosial. Istri saya dokter dan dia menjadi kepala puskesmas di sana. Kalau ada orang sakit, saya ikut mengantar istri, kapan saja, kadang-kadang tengah malam. Pernah suatu ketika menjelang berbuka puasa, polisi datang meminta tolong istri saya untuk otopsi karena ada kasus pembunuhan. Setelah berbuka puasa, saya mengantar istri dan harus berjalan kaki sejauh 5 km, naik gunung selama 2-3 jam. Tengah malam baru kembali ke rumah. Itu pengalaman yang susah saya lupakan. Ini destiny kami.

Kebetulan saya pernah kerja praktik di Antam, sebelum tahun 1988 sudah di Pomalaa. Waktu itu saya merasa, ini tempat yang enak untuk bekerja. Cita-cita saya waktu itu enggak tinggi. Saya melihat kepala biro yang bisa menyekolahkan anaknya di Bandung dan Yogyakarta. Dia bisa menguliahkan anaknya, hidup teratur, bekerja pagi dan pukul 14.00 sudah pulang, enjoy life. Main tenis, bisa memancing. It’s very simple.

Obsesi Anda yang belum tercapai?
Hilirisasi mineral harus benar-benar tercapai. Kalaupun tidak ada aturan pemerintah tentang hal itu, saya tetap berusaha agar terealiasi. Tanpa aturan itu pun, Antam sudah ke sana. Sejak tahun 2000-an, kami sudah bikin roadmap. Itu sebelum ada program hilirisasi yang dicanangkan pemerintah. Orang sekarang baru ribut, kami sudah siap. Potensi Indonesia untuk hilirisasi hasil tambang luar biasa. Tapi bukan cuma bisa saja. Harus how to managehow to coordinate, how to formulate, how to structure itu yang harus terjadi. Tiongkok yang enggak punya raw material saja bisa. Korea yang lebih parah dari Tiongkok juga bisa. Yang penting bagi saya, itu proses, menuju hasil.

Membuka pabrik itu membuka peradaban, membuka kehidupan. Berapa tenaga kerja terserap, multiplier effect, sains yang bisa dikembangkan, dunia pendidikan, kesehatan, semua masuk di sana. Civilization yang kita bangun. Bagi saya, itu jihad. Kata Rasulullah, kembangkan apa yang kamu ketahui. Tidak mungkin setelah dari sini saya menjadi pengusaha real estat.

Apa filosofi hidup Anda?
Untuk mencapai sebuah tujuan, seseorang harus fokus pada prosesnya. Itu tidak bisa ditawar, karena saya yakin betul bahwa garis hidup setiap manusia sudah ada yang mengatur. Saya menyebutnya mekanisme Ilahi yang bekerja.

Anda punya gaya kepemimpinan seperti apa?
Saya harus memberi contoh kepada bawahan. Misalnya saat bepergian menggunakan pesawat, saya mesti pakai kelas ekonomi. Mobil masih bagus enggak perlu beli dulu, naik kereta api, dan lain-lain.

Keberhasilan apa saja yang telah Anda capai dalam karier?
Saya enggak pernah merasa sudah mencapai sesuatu. Saya mensyukuri saja. Berhasil menurut saya belum tentu berhasil menurut orang lain. Bagi saya, jalani saja. Kemudian dalam perjalanannya, dipercaya itu merupakan amanah lain. Jangan pernah dendam. Ini masalah garis tangan saja atau masalah waktu saja. Selagi mendapat amanah, kerjakan sebaik-baiknya, profesional, integritas, antusias. Enggak usah pakai teori yang tinggi-tinggi.

Bagaimana kondisi Antam saat ini?
Potensi perusahaan ini luar biasa. Hanya saja, harga komoditas sedang turun, itu bagian yang harus kami manage. Strategi kami adalah menaikkan produksi ferronikel. Dengan adanya larangan ekspor mentah, kami punya kesempatan untuk mencari kadar lebih tinggi. Maka kami harus melakukan percepatan proyek.

Sejauh mana keluarga mendukung karier Anda?
Keluarga saya total mendukung. Saya punya anak tiga. Yang paling besar sedang mengambil master di ITB, usianya 20 tahun, perempuan. Yang kedua akan masuk kuliah, sekarang kelas III SMA, umurnya 17 tahun. Yang paling kecil umurnya 8 tahun, kelas III SD. Nah, anak yang paling kecil, kalau saya pulang pukul 19.00-20.00, dia bertanya,"Ayah sakit, ya?”

Kalau saya pulang cepat, aneh bagi mereka. Terus terang, saya enggakpernah pulang cepat. Sebelum menjadi direktur pengembangan, bahkan saat masih menjadi project group leader, masih staf, saya selalu pulang pukul 21.00 sampai rumah. Saya senang saja karena pekerjaan itu hobi bagi saya.

Pekerjaan sebagai hobi, maksudnya?
Waktu saya kecil, hidup saya keras banget. Ketika umur 9 tahun, saya sudah bisa menyapu lantai, mengepel, mencuci pakaian, menyetrika, dan memasak. Jadi, kalau sekarang pembantu pulang, saya tenang. Anak-anak saya juga dididik seperti itu.

Yang paling mendasar, bekerja harus ikhlas. Selain itu, kerja keras harus, cerdas juga harus. Kalau asal bekerja percuma, hanya buang tenaga. Bekerja pun harus tuntas. Jangan pernah menjadikan pekerjaan sebagai beban. Capai jadinya. Hasilnya, kreativitas hilang.

Anda tidak kesulitan menyeimbangkan kehidupan keluarga dengan pekerjaan?
Quality of life. Hari Sabtu-Minggu saya bersama anak-anak saya. Saya berupaya menjadikan waktu bersama keluarga selalu berkualitas. Saya harus menginjeksikan berbagai hal positif kepada anak-anak. Jelas kualitas harus diutamakan ketimbang kuantitas. Hidup saya setahun itu 50 persen di rumah dan 50 persen di luar rumah. Istri saya dokter spesialis di rumah sakit pemerintah. Kerja sosial. Bersyukur sekali kami dikasih hidup begini.

Kegiatan Anda pada waktu luang?
Saya aktif di kegiatan sosial. Saya ketua Ikatan Relawan Sosial Indonesia DKI Jaya. Kalau ada banjir, kami turun langsung tanpa perlu diumumkan. Kami kumpulkan apa yang bisa dikumpulkan. Saya juga punya binaan sekolah pendidikan mental di Pasuruan, Jawa Timur.

Saya suka lebih di kegiatan sosial, bisa berkomunikasi dengan banyak orang. Belajar banyak karena hidup kita terbatas. Saya punya pikiran, hidup saya sekarang 46 tahun dan usia Rasulullah sampai 63 tahun. Saya punya kesempatan 17 tahun lagi, itu kalau sama dengan usia Rasulullah. Makanya saya planning. Ayah saya dapat bonus 10 tahun, beliau meninggal pada usia 73 tahun. Kalau saya dikasih lebih, thanks to God.

Tag

Artikel Terkait

Kuis Terkait

Video Terkait

Cari materi lainnya :