Home » Kongkow » Sejarah » Akulturasi Kebudayaan Nusantara dan Hindu-Budha

Akulturasi Kebudayaan Nusantara dan Hindu-Budha

- Selasa, 19 April 2022 | 10:00 WIB
Akulturasi Kebudayaan Nusantara dan Hindu-Budha

Pada zaman prasejarah Masyarakat Indonesia telah mengenal kepercayaan terutama penyembahan terhadap roh nenek moyang(animisme) dan kepercayaan bahawa benda-benda tertentu mempunyai roh dan Jiwa (dinamisme). Disamping itu ada kepercayaan totetisme yang menganggap Keluarga, klan atau sukunya adalah keturunan binatang atau tumbuhan tertentu.

Kehadiran Hindu Buddha di Indonesia mendorong terwujudnya proses akulturasi kebudayaan, yang kemudian melahirkan kebudayaan baru yang disebut dengan kebudayaan Indonesia-Hindu, antara lain sebagai berikut.

1. Akulturasi dalam Bidang Sistem Kepercayaan

Ciri utama kepercayaan asli Indonesia adalah pemujaan terhadap arwah roh nenek moyang (manisme dari kata menes, artinya arwah nenek moyang) disamping animisme, dinamisme dan totemisme. Masyarakat Indonesia pada zaman prasejarah percaya bahwa orang yang meninggal rohnya akan menuju kesuatu tempat yang jauh dan tidak diketahui. Setlah pengaruh Hindu-Budda masuk, terjadilah sistem akulturasi kepercayaan, misalnya fungsi candi di India sebagai tempat pemujaan terhadap dewa, Tetapi di Indonesia fungsi candi selain tempat pemujaan terhadap dewa juga sebagai tempat untuk menyimpan abu Jenazah (terutama raja dan keluarganya). Dalam candi hindu sering dijumpai arca dewa yang dianggap sebagai perwujudan dari Raja yang telah meninggal.

2. Akulturasi dalam Bidang seni Bangunan

Sebelum pengaruh hindu-buddha masuk ke Indonesia, bangsa indonesia telah mempunyai karya bangunan untuk memuja roh nenek moyang. Misalnya Pundek Berundak, Dolmen dan Menhir. Candi Borobudur merupakan salah satu wujud akulturasi antara bangunan punden berundak pada zaman prasejarah, yang kemudian diberi warna agama buddha. Menhir pada zaman praseharah digunakan untuk memuat tulisan mengenai peristiwa sakral, Misalnya prasasti Yupa di Kutai, Kalimantan Timur.

3. Akulturasi dalam Bidang Seni Rupa dan Seni Ukir

Sebelum pengaruh Hindu-buddha masuk, bangsa Indonesia telah memiliki kemampuan dalam bidang seni rupa yang cukup tinggi, Misalnya seni batik, seni ukir yang tertuang pada kapak perunggu(candrasa), nekara, moko dan benda-benda perhiasan. Semua goresan seni rupa dan seni ukir dari zaman prasejarah Indonesia selalu bermakna relegus, mempunyai kekuatan batin dan dasar-dasar kerohanian yang mendalam. Hal inilah yang kemudian terpadu dengan seni ukir atau seni rupa dari India(pengaruh Hindu-Buddha) yang juga bernapaskan Relegius. Misalnya ragam Hias di dinding candi dan Motif batik yang berkembang di zaman Hindu Indonesia sampai sekarang, Misalnya motif Jlamprang.

4. Akulturasi Dalam Bidang Aksara Dan Seni Sastra

Bangsa Indoensia memperoleh kepandaian membaca dan menulisa dari pengaruh budaya Hindu-Buddha, yaitu huruf pallawa dan bahasa Sansekerta. Di Indonesia huruf pallawa di kembangankan kebeberapa daerah sehingga lahir huruf batak di sumatra, huruf kawi,huruf Jawa, Huruf Bali. Kepandaian menulis berdampak berkembangnya seni sastra Indonesia kuno, misalnya cerita Mahaberata dan Ramayana, Di Indonesia menjadi suatu cerita dalam pertunjukan wayang purwa(wayang merupakan budaya asli indonesia). Para pujangga indonesa mengembangkan cerita-cerita yang digubah sendiri, misalnya tokoh-tokoh punakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong) yang di Inda sendiri tidak pernah ada. Ragam hias pada wayang merupakan akulturasi seni india dan Indonesia.

5. Akulturasi Bidang Pemerintahan

Sebelum mengenal Hindu masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah mengenal sistem pemerintahan, yang di pilih secara demokratis. Seorang yang dianggap mempunyai kelebihan (Primus Interperes) diangkat menjadi kepala suku, klan atau raja yang memimpin suatu wilayah. Dengan masuknya pengaruh India, terjadilah akulturasi dalam bidang pemerintahan. Pengangkatan pemerintahan tetap dengan nama-nama asli Indoensia, tetapi sistem pemerintahanya meniru model India.

6. Akulturasi dalam Sistem Kaleder

Pada zaman prasejarah, masyarakat Indonesia telah mengenal astronomi untuk kepentingan-kepentingan praktis, misalnya untuk enentukan letak bintang sehingga akan tahu arah angin pada waktu belayar dan tahu akapan akan memulai kegiatan pertanian. Dengan melihat letak suatu bintang dapat di ketahui (1) Musim kemarau (musim tidak ada hujan) (2) Musim labuh (sudah mendekati musim hujan) (3) Musim hujan (4) Musim wareng curah (hujan sudah maulai jarang). Musim-musim tersebut dilihat dari banyak-sedikitnya curah hujan. Hujan menjadi faktor penentu dalam masyarakat agraris, kapan mulai membajak, menabur benih, saat panen dan cara menolak hama. Situasi ini berlangsung secara terus-meneurus dan menjadi suatu siklus yang tetap, dengan demikian terbentuk suatu sistem kalender senderhana.

Demikian ya sobat artikel kali ini, semoga bisa bermanfaat unutk semuanya.

Cari Artikel Lainnya