Home » Kongkow » Hukum » Sifat Final dan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi

Sifat Final dan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi

- Senin, 26 Oktober 2020 | 15:46 WIB
Sifat Final dan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi

Dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai pengawal konstitusi, MK melakukan penafasiran terhadap konstitusi. Bentuk-bentuk penafsiran konstitusi tersebut dituangkan dalam putusan MK.

Putusan MK meskipun bersifat deklaratif namun final dan mengikat. Putusan MK yang bersifat final mengandung makna bahwa putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan MK dalam undang-undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikatnya (final and binding).

Putusan MK yang bersifat mengikat dapat diartikan bahwa putusan MK tidak hanya berlaku bagi para pihak, namun berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia (erga omnes) dan memiliki kekuatan hukum tetap. Hal itu merupakan konsekuensi yuridis untuk menekankan bahwa putusan hakim atau pengadilan wajib ditaati. Putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dipandang dari sudut kekuatannya memiliki kekuataan mengikat yang sama dengan undang-undang.

Apabila suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, maka MK diberi kewenangan untuk menyatakan undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945 (unconstitutional) dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat melalui putusan MK. Ketika telah dinyatakan bertentangan undang-undang tersebut maka baik warga negara maupun lembaga-lembaga negara terikat untuk tunduk kepada putusan MK tersebut.

Mengenai larangan dihidupkannya kembali pasal-pasal yang telah dibatalkan oleh MK dalam rancangan undang-undang sebagaimana yang Anda tanyakan, sebenarnya tidak ada aturan yang secara eksplisit melarang hal tersebut. Dikarenakan muatan pasal, ayat, dan/atau bagian undang-undang yang telah dibatalkan oleh MK merupakan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji pada waktu itu. Maka yang bertentangan adalah muatan pasal, ayat, dan/atau bagian dari undang-undang yang dimohonkan diuji tersebut.

Namun berbeda ketika materi muatan pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang tersebut telah dibatalkan oleh MK dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat kemudian muatan pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang yang telah dibatalkan dihidupkan atau dimasukkan kembali ke dalam rancangan undang-undang. Hal ini tentunya dalam bentuk undang-undang yang baru maka akan besar kemungkinan setelah disahkan dan diundangkan, muatan pasal, ayat, dan/atau bagian dari undang-undang tersebut akan dimohonkan kembali pengujiannya (judicial review) ke MK. Kemungkinan ini dikarenakan memiliki materi muatan yang sama terhadap muatan pasal, ayat, dan/atau bagian yang telah dibatalkan oleh MK.

Sehingga dalam batas penalaran yang wajar ketika muatan pasal, ayat, dan/atau bagian undang-undang tersebut telah jelas bertentangan dengan UUD 1945 dan telah dibatalkan oleh Mahkamah tentunya tidak perlu dihidupkan kembali dalam rancangan undang-undang karena sudah jelas tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Bahkan berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”), menyatakan bahwa salah satu materi muatan undang-undang adalah tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi, berikut bunyi lengkap Pasal 10 UU 12/2011:

Tindak lanjut atas putusan MK menjadi materi muatan dari...

  1. Materi muatan yang harus diatur dengan Undang- Undang berisi:

    1. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

    2. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;

    3. pengesahan perjanjian internasional tertentu;

    4. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau

    5. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

  2. Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden.

 

Berdasarkan Pasal 10 UU 12/2011 tugas DPR dan Presiden adalah melaksanakan putusan MK dan bukan sebaliknya mengabaikan putusan MK.

Dengan demikian, sulit kiranya menghidupkan kembali pasal-pasal yang telah dibatalkan oleh MK dalam rancangan undang-undang. Selain dikarenakan materi muatannya bertentangan dengan konstitusi, sangat besar kemungkinan akan diajukan judicial review kembali undang-undang tersebut ke MK. MK dipastikan akan merujuk putusan sebelumnya dalam hal terdapat materi muatan yang sama.

Cari Artikel Lainnya