Home » Kongkow » Cerpen » Si Bunga Merah

Si Bunga Merah

- Senin, 24 April 2017 | 12:00 WIB
Si Bunga Merah

“Nyonya Hana, Anda sudah siap?” tanya seorang kru pada wanita berambut panjang bergelombang, Kim Hana, yang duduk menyandar di kursi rias. Wanita itu duduk tegak seraya mengangguk, memberitahu ia sudah siap naik ke atas panggung.
“Baiklah, silahkan ikut saya.” kemudian, kru tersebut melangkah keluar ruangan mendahului Hana
Hana pun bangkit dan menyusul kru tersebut. Namun sebelum ia mencapai pintu, langkahnya terhenti. Ia berbalik, menghadap cermin besar yang ada di sampingnya. Ia terdiam. Lalu tersenyum. Ia amati pantulan dirinya di cermin itu. Ada begitu banyak perubahan pada tubuhnya. Badannya terlihat lebih gemuk, kulitnya juga tak sehitam dulu. Ah, ia tak ingat perawatan apa saja yang telah ia lakukan demi penampilan sesempurna ini.
“Nyonya Hana?” Hana menengok, mendapati kru tersebut menantinya untuk segera keluar
“Ah, maaf.” Ia pun berjalan ke luar ruangan

Riuh tepuk tangan penonton mendominasi studio ini. Hana menyamankan posisi duduknya di sofa merah marun yang berhadapan dengan tribun penonton. Ada banyak kamera di sekelilingnya. Tentu, ini adalah acara televisi nasional yang menyajikan informasi di dunia perfilman. Dan untuk pertama kalinya ia diundang di sini. Tak sembarang orang bisa duduk di sofa ini dan mendengar antusiasme penonton saat namanya disebut. Membutuhkan kerja keras ekstra untuk bisa tampil di acara ini.

Si pembawa acara, Niken, menyapa para penonton. Ia memperkenalkan Hana pada penonton lalu mengucapkan selamat atas keberhasilan Hana sebagai aktris terbaik 2016 di acara Movie Award semalam. Hana yang tersipu malu hanya tersenyum simpul dan mengatakan terima kasih. Niken pun mengawali inti acara dengan menanyakan motivasi Hana untuk menjadi aktris terbaik. Hana sempat terdiam karena bingung harus menjawab apa. Namun sebuah ide muncul.
“Sebenarnya, aku pernah mengalami hal yang sama seperti Dea.” kata Hana
“Maksud Anda, tokoh yang Anda perankan?”
“Iya. Aku memiliki masa yang sulit seperti Dea. Mungkin kalian tidak pernah mendengar cerita hidupku yang sebenarnya. Bagaimana aku tumbuh sebagai Hana saat ini adalah sesuatu yang kurahasiakan. Tidak banyak yang mengerti siapa Hana dalam dunia nyata.”
“Bisakah Anda ceritakan sedikit? Kami jadi penasaran.” kata Niken seraya tersenyum simpul
“Haruskah?” tanya Hana menggoda
“Ayolah, aku jamin mereka pasti penasaran.” Hana mengedarkan pandangan, memastikan apakah penonton juga penasaran dengan ceritanya. Dan ia terkejut saat mendapati penonton terdiam menatapnya dengan raut penasaran.
“Hmm, baiklah.”
Dan Hana pun mulai bercerita tentang kehidupannya. Tentang dirinya yang tumbuh dengan belas kasihan banyak orang. Juga tentang perjuangannya melawan trauma itu. Yah, trauma yang mengacaukan hidupnya.

Rumah Sakit Jiwa Taemin, Seoul, Korea Selatan, 2009…
“Lepaskan!”
“Diamlah! Atau aku akan memukulmu!”
“Sayang, cepat bawa dia ke dalam!”
“Lepaskan!”
“Diam kau anak nakal! Kau seharusnya tinggal di sini. Bukan di rumah kami.”
“Tidak! Aku tidak gila! Aku tidak gila! Lepaskan aku!”

Seorang dokter dan beberapa suster berseragam sama menghampiri mereka. Dokter itu, Yoo, menyuruh susternya membawa gadis berambut acak itu ke dalam rumah sakit sementara ia berbincang dengan paman dan bibi gadis itu. John, paman gadis itu, meminta dokter Yoo merawat sang keponakan selama ia pergi ke Paris bersama keluarganya. Ketika ditanya kapan kembali, John hanya mengatakan secepatnya. Dokter Yoo tidak bisa bertanya lebih karena John dan istrinya terburu-buru. Mereka bilang, mereka harus segera pergi ke bandara karena pesawat akan take off.
Hana memberontak. Mencakar, mendorong dan melakukan apa saja agar suster-suster itu tidak menyuntiknya. Ia harus pergi dari tempat ini. Ia tidak mau terperangkap di sini. Sudah cukup rumah tua pamannya membuatnya menderita. Tempat ini akan membuatnya lebih menderita.

“Hey, tenanglah. Kami tidak akan menyakitimu. Jadi, kau tidak perlu takut.” kata Dokter Yoo dengan nada lembutnya. Diam-diam, ia merampas suntikan itu dan meletakkannya di keranjang obat. Hana berjalan mundur, berusaha menghindar.
“Tidak! Aku tidak gila! Aku tidak gila!” teriak Hana
“Iya, kau tidak gila. Jadi, tenanglah.”
“Suster, siapa nama pasien ini?” tanya dokter Yoo
“Kim Hana. Usianya 17 tahun dan mengalami gangguan psikis sejak 2 bulan lalu karena orangtuanya meninggal.” kata seorang suster. Dokter Yoo mengangguk.

Hana melangkah, berencana kabur. Namun sayang, dokter Yoo berhasil menahannya. Lelaki itu mengatakan bahwa Hana akan baik-baik saja di sini. Ia tidak perlu takut karena semua yang ada di sini tidak akan menyakitinya. Dokter Yoo menatap mata Hana. Gadis itu tidak menangis. Tetapi teriakannya sangat menyakitkan.
“Aku akan mengurusmu, kau tidak perlu takut. Aku orang yang baik, sebenarnya. Ah, tidak. Aku memang orang yang baik. Tetapi aku tidak sebaik yang kau kira. Jika kau terus memberontak, aku akan marah. Jadi, tenanglah.”
“Aku tidak gila! Lepaskan. Aku mau pulang.” teriak Hana.
Tanpa disadari seorang suster menyuntikkan obat penenang itu dan membuat Hana perlahan-lahan terlelap. Dokter Yoo mengangkat tubuh Hana dan membawanya ke ruang pemeriksaan. Di bantu seorang dokter senior dan beberapa suster, ia melakukan pemeriksaan psikis dan fisik pada Hana.

Setelah melihat data pemeriksaan, ternyata Hana menderita sosiofobia. Dimana seseorang akan benci pada orang asing. Fobia ini memang sudah umum, namun lebih parah dari anti sosial. Seseorang yang mengidap penyakit anti sosial cenderung malas untuk berinteraksi dengan orang lain. Sedangkan sosiofobia timbul karena ketakutan dan rasa tidak nyaman dengan kehadiran orang asing. Selain itu, Hana juga mengidap kepanikan tinggi pada cahaya terang dan berkedip. Ini menjadi poin penting yang harus ditelusuri lebih dalam karena penyebab timbulnya penyakit jiwa itu belum diketahui pasti. Namun, dokter Yoo yakin ada alasan tersendiri di balik trauma itu.

“Jika kau bisa menyembuhkan pasien ini, aku akan menaikkan jabatanmu.” kata Dokter Kim, saat ia dan dokter Yoo tengah berbincang mengenai Hana. Dokter Yoo tertarik dengan tawaran itu, tetapi ia ragu. Apakah ia bisa menyebuhkan Hana si gadis traumatik itu?

2 hari kemudian…
Hana terbangun saat ia mendengar bunyi knop pintu. Seseorang baru saja keluar dari sini. Ia memejamkan mata lalu membukanya lagi. Ia mengedarkan pandangan. Hanya ada kasur, meja, dan kursi. Untuk beberapa saat ia pandangi ruangan serba putih itu. Ini tak asing. Ia pernah berada di ruangan seperti ini. Yah, ruangan ini adalah kamar tidurnya. Tetapi, mengapa kasurnya seperti kasur di rumah sakit?. Oh tidak, apakah ia sedang sakit?
Tak sengaja, ia menyenggol sesuatu. Setangkai bunga mawar jatuh ke lantai tepat di bawah ranjangnya. Ia bangkit untuk mengambil bunga itu. Lalu meletakkannya di atas meja.
“Apa ini? Kenapa ada kertas dan bolpoin?” batinnya.
Hana meraih kertas itu dan membawa dua kalimat di tepi atas kertas itu.
Selamat pagi bunga merah, mulai hari ini aku adalah temanmu. Maukah kau menceritakan sesuatu padaku?
Hana terkekeh membaca kalimat-kalimat itu. Aneh. Mengapa ia harus berteman dengan kertas? ada-ada saja. Hana pun mengacuhkan kertas itu.

Kasur empuk itu lebih menarik perhatiannya. Ia pun kembali berbaring. Namun sayang, ia tidak bisa terlelap. Walau matanya terpejam, ia tidak bisa terlelap. Hana bangkit, menarik kursi dan mendudukinya. Ia pun menulis sesuatu di kertas itu. Tak banyak, hanya menuliskan bahwa ia suka berada di ruangan ini karena mirip dengan kamarnya. Setelah itu, ia pergi ke luar ruangan. Di sana, tepat di depan pintu, dokter Yoo berdiri sambil memasukkan kedua tangannya ke saku jas dokternya. Begitu dia melihat Hana keluar, dia langsung melambaikan tangan dan menyapa Hana. Namun, hal itu membuat Hana mempercepat langkah karena ketakutan. Senyum dokter Yoo benar-benar mirip dengan orang jahat itu. Dan Hana benci itu.
“Hana, kau mau ke mana?” Hana tak menjawab. Ia terus berjalan dengan cepat agar dokter Yoo tidak bisa mengejarnya. Namun, ia gagal.
“Lepaskan! Aku tidak gila!” teriak Hana. Tanpa sadar, ia mencakar sesuatu. Dokter Yoo meringis kesakitan karena cakaran Hana melukai lengan kirinya. Hana semakin ketakutan. Dia berlari menjauhi dokter Yoo.

Keesokan harinya…
Setibanya di ruangan putih, sebutan untuk ruang inapnya, Hana mendapati selembar kertas putih, bolpoin dan setangkai mawar merah telah menantinya di atas meja. Hana menulis sesuatu di kertas itu.
Ibu, ayah, disini aku punya teman yang baik. Dia selalu ada untukku. Aku menyebutnya kertas putih. Jika ada waktu, aku akan memperkenalkannya pada ibu dan ayah. Dia memanggilku bunga merah dan selalu memberiku mawar merah. Ibu, ayah, 4 hari lagi hari ulang tahunku. Aku selalu berdoa agar paman dan bibi tidak akan menjemputku. Mereka sangat kejam. Mereka memarahiku setiap hari. Aku benci cahaya lampu. Itu mengingatkanku pada kecelakaan yang kita alami. Aku tidak suka. Tetapi bibi dan paman selalu menyalakan lampu. Jika aku berteriak, mereka memukulku. Ibu, ayah, tidak bisakah aku tinggal bersama kalian? Tidak apa-apa jika aku harus mati. Asal aku bisa meninggalkan tempat ini dan berada di sisi kalian. Bawa aku, ibu. Bawa aku, ayah.

Tak terasa, air mata mengalir perlahan. Membasahi kedua pipi Hana yang pucat dan kusam. Ada perih yang tergambar jelas di wajahnya. Juga kekecewaan yang mendalam atas kepergian ayah-ibunya. Ia tahu, ini tindakan bodoh. Ia tahu, ayah-ibunya pasti sedih melihatnya terpuruk seperti ini. Tetapi, apa yang bisa ia lakukan? Tak satupun keluarganya yang mau merawatnya. Mereka benci pada Hana. Hanya karena dia mengidap trauma pada cahaya lampu dan interaksi, mereka tega membuang Hana ke tempat ini. Yah, setidaknya ia sedikit bersyukur. Berkat traumanya ini, ia tahu bagaimana karakter keluarganya. Terutama paman dan bibinya. Yah, mereka benar-benar buruk.

Sejenak Hana terdiam. Sudah tiga hari dia menerima kertas putih ini. Setiap harinya kertas itu diperbarui. Dan di samping kertas itu pasti ada bunga mawar, bunga kesukaannya. Ia penasaran, siapa yang meletakkan ketiga benda itu setiap harinya di meja ini? Apakah dokter Yoo? atau suster-suster? Entahlah, Hana tak tahu. Ia sangat terbantu dengan kertas itu. Ia tidak merasa kesepian. Setidaknya, untuk beberapa saat. Kehadiran si kertas putih itu menenangkan hatinya. Ia tahu, dokter Yoo berusaha menyembuhkannya karena dia menerima tawaran dari atasannya. Jika dia berhasil melakukannya, ia akan menjadi psikiater tetap di rumah sakit ini. Hana tak menyangka, lelaki itu begitu licik. Ia memanfaatkan Hana untuk memperoleh keuntungan.

Di ruangan serba putih tanpa lampu ini, Hana menghabiskan hari-harinya. Ia hanya akan keluar saat pagi hingga sore hari. Sedangkan malam, ia mengurung diri di kamar. Setiap pagi ia bangun dengan semangat untuk menceritakan hal-hal baru pada si kertas putih. Mawar merah itu ia kumpulkan di sebuah kaleng bekas yang telah ia isi dengan air. Setiap hari, kaleng itu semakin penuh dengan mawar. Walau beberapa mulai layu, Hana tak pernah bosan merawatnya. Bila malam tiba, kamar ini akan benar-benar gelap. Tetapi Hana tidak merasa takut. Ia bisa melihat bulan dan bintang melalui jendela kamar inapnya. Lalu ia akan mengingat lagu tidur yang selalu ibunya nyanyikan untuknya. Dengan begitu, ia bisa tidur.

Dokter Yoo mengumpulkan kertas–kertas putih itu dalam sebuah kotak. Setiap hari, ia membaca dan menyelidiki semua tulisan di kertas-kertas itu. Tepat pukul 04.00 pagi, ia pergi ke kamar Hana. Meletakkan mawar merah, bolpoin dan kertas putih baru yang masih mulus. Kemudian, ia akan pergi tanpa suara. Terkadang dia berdiri sejenak di samping ranjang Hana. Memastikan gadis itu baik-baik saja. Ia tak tega pada gadis itu. Ia telah mengatakan bahwa ia tidak menerima tawaran Dokter Kim. Menjadi psikiater memang cita-citanya sejak kecil. Tetapi memanfaatkan seseorang demi keuntungan sendiri benar-benar menjijikkan baginya.

Setelah melewati sekian banyak peristiwa buruk, Hana justru diserahkan kepada pihak rumah sakit. Tidak ada yang tahu keberadaan keluarga Hana. Yang ia tahu, Hana memiliki paman dan bibi yang ‘ternyata’ kejam. Berdasarkan cerita yang Hana tulis, ia dapat menyimpulkan bahwa Hana mengalami trauma mendalam karena keluarganya sendiri. Seharusnya, mereka mengerti jika Hana ketakutan bila melihat cahaya terang dan berkedip. Namun, mereka malah memarahi Hana dan menganggap gadis itu hanya meminta belas kasihan. Oh Tuhan, apa dosa gadis itu? Hingga keluarganya pun tak sudi merawatnya.

Sekarang, Hana mulai nyaman berada di dekat Yoo. Mereka sering berbincang, walau terkadang Hana mendadak berteriak ketakutan saat Yoo tersenyum. Hana bilang, senyumnya seperti orang yang telah menabrak ia, ayah dan ibunya. Ternyata kecelakaan itu telah direncanakan. Saat mobil yang dikendarai keluarga Hana melintas di pertigaan Gangnam, sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi dari arah berlawanan dan menghantam mobil mereka. Hana melihat cahaya terang dari lampu truk itu dan membuat Hana ketakutan. Karena Hana melihat sendiri truk itu menindas mobil yang ia tumpangi. Semua keluarganya meninggal saat itu juga. Hanya dia yang sempat melihat si pelaku. Tetapi ia tak tahu bagaimana wajahnya. Ia hanya ingat senyumannya, benar-benar menakutkan.

Dari sanalah, Yoo mengetahui penyebab trauma Hana. Ia rutin memberi Hana kertas putih dan mulai membiasakan Hana dengan lampu. Saat pertama kali Hana tahu jika di kamarnya ada lampu, ia berteriak histeris hingga pingsan. Hal itu membuat Yoo merasa bersalah. Namun, ini satu-satunya cara agar Hana tidak terkejut lagi saat melihat lampu. Yoo akhirnya berinisiatif membuatkan lampion mawar merah, dengan cahaya yang tidak terlalu terang.

Saat itu Hana tidak mau masuk ke dalam kamar karena ada lampion. Tetapi ia mencoba memberanikan diri. Ia berjalan dengan ketakutan menuju kasurnya. Ia tak punya pilihan lain. Ia sudah berjanji tidak akan berteriak karena itu akan mengganggu pasien lain. Ia tidur memunggungi lampion itu. Berharap keajaiban datang dan membuat lampion itu mati, walau ia tahu itu sangatlah konyol. Namun, ia penasaran. Ia berbalik seraya menutup matanya. Saat ia mengintip lampion itu dari sela-sela jemarinya, ia terpukau. Bentuk lampion itu indah. Cahayanya semerah mawar, bunga kesukaannya. Oh, apakah ia berhasil mengatasi traumanya?

“Lalu, bagaimana dengan dokter itu? Apa kalian masih saling berkomunikasi?” tanya Niken setelah mendengar rentetan cerita masa lalu Hana.
Pertanyaan itu sukses membungkam mulut Hana selama beberapa saat. Ia tertunduk kembali. Merangkai kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. Matanya melirik sekilas ke tribun penonton lalu menarik nafas dan tersenyum pada Niken.
“Sebentar lagi, kami akan menikah. Dokter Yoo ada di antara penonton di studio ini.”
Sontak, Niken berdiri dan memanggil dokter Yoo. Tak lama kemudian, seorang pria jangkung bertubuh ideal memakai jas biru tua turun dari tribun dan menghampiri Hana.

Yoo dan Hana duduk berdampingan di satu sofa sementara Niken duduk di kursi yang berbeda. Suasana studio mendadak hangat karena kehadiran Yoo. Diam-diam, Hana dan Yoo saling memandang. Membuat lidah Niken gatal untuk menanyakan banyak hal tentang mereka.
“Jadi, berapa perbedaan usia kalian?”
“Kami berbeda 3 tahun. Yoo lebih tua dariku.”
“Dan Anda, Dokter Yoo, bagaimana kesan Anda saat merawat Hana?”
“Saat pertama kali bertemu, aku takut dia akan menjadi liar. Aku ingin menanyakan banyak hal tentang Hana pada paman dan bibinya, tetapi mereka terburu-buru. Setelah lama menunggu, aku baru sadar kalau mereka membuang Hana ke rumah sakit kami. Aku tahu, Hana gadis yang menyenangkan. Dia bisa diajak bicara. Tetapi butuh waktu lama untuk sekedar mendapat balasan halo darinya. Setiap kali bertemu Hana, yang terpikirkan olehku hanyalah lampu dan lampu. Jujur, dia pasien terunik yang pernah kutangani. Dia trauma pada cahaya yang terang dan berkedip. Dan itu membuatku penasaran. Kenapa bisa begitu? Seburuk apa peristiwa yang membuatnya trauma?. Dan pertanyaan-pertanyaan itu mengantarkanku pada sebuah ide. Ibuku pernah mengatakan, menulis bisa menyembuhkan trauma seseorang. Karena saat menulis, kita seperti tengah bercerita kepada orang lain. Karena itulah, aku merawatnya dengan memberinya kertas putih, bolpoin dan mawar merah setiap hari.”
“Bagaimana kau tahu kalau Hana suka mawar merah?”
“Hari pertama tiba di rumah sakit, ia berjongkok di depan pot mawar merah selama hampir satu jam. Aku pikir dia sedang melamun, ternyata dia sedang berbincang dengan mawar itu dan sesekali tersenyum.”
“Benarkah? Jadi kau mengamatiku saat itu?” tanya Hana tak percaya. Yoo mengangguk dan tersenyum.
“Astaga. Waktu kita sudah habis. Sungguh, ini adalah acara yang menarik. Aku sekarang tahu bagaimana perjuangan seorang Hana melawan rasa traumanya dan menjadikannya seorang aktris profesional. Sungguh, aku berterima kasih karena kau memberiku dan penonton banyak pelajaran. Aku janji akan mengundangmu lagi nanti.”
“Hahaha… kau bisa saja. Tapi terima kasih sudah mengundangku. Berkat acaramu, tidak ada lagi yang kurahasiakan.”
Niken mengarahkan pandangannya pada kamera lalu mengucapkan terima kasih kepada penonton yang telah menyaksikan acara tersebut. Sebagai akhir, sebuah soundtrack film yang dimainkan Hana diputar. Semua penonton berdiri dan bergoyang menikuti irama lagu. Sementara Hana dan Yoo berdiri saling bergandengan.

Tak ada yang mengira Hana akan sesukses ini. Tetapi semua tak berarti tanpa Yoo dan Tuhan. Yah, masa lalu itu membuatnya bangkit dan melangkah ke depan. Maju sedikit demi sedikit. Memang, tak ada yang mudah dalam hidup. Tetapi kesulitan yang ia alami menjadikannya lebih kuat dan mandiri. Hana memeluk Yoo, lalu mengucapkan terima kasih atas semua kebaikan yang telah lelaki itu berikan padanya. Sementara Yoo terus tersenyum. Merawat Hana adalah pengalaman yang tak terlupakan.

Cerpen Karangan: Wildatuz Zakiah

Cari Artikel Lainnya