Home » Kongkow » Cerpen » Kalau Jodoh, Mau Ke Mana?

Kalau Jodoh, Mau Ke Mana?

- Selasa, 14 November 2017 | 10:30 WIB
Kalau Jodoh, Mau Ke Mana?

Aku kembali mnyeruput tehku, lalu meletakkannya krmbali ke meja belajar. Kubalikkan lagi lembaran lembaran novel yang ada di tangan. Tiba di bab pengenalan sosok pemeran utama laki laki yang ada di cerita tersebut. Bukan tentang pertengkaran hebat antara Tari dengan Dirgantara mengawali pertemuan pertama mereka, namun lebih ke nama itu, Dirgantara -membuat darahku berdesir. Bagaimana kabar lelaki itu? Ah, sudahlah. Ia hanya bagian dari masa lalu.

Kualihkan pandanganku ke luar. Menembus kaca jendela yang berembun. Di akhir bulan februari ini, musim hujan melanda Kota tempatku melanjutkan studi. Hujan yang begitu deras dari pagi tadi, kini telah menyisahkan tetesan tetesan kecil dari langit. Suasana yang paling kusukai. Meskipun, dengannya membuat semua memori masa lalu terputar kembali di benakku. Siapa lagi kalau bukan tentangnya. Lelaki itu.. dengan segala sikapnya kepadaku. Kejutekannya, ketidak-peduliannya. Dan..

Syukran yaa Rabbiy.. syukran..
belum tuntas aku mengenang, hpku berdering. kugeser ke arah panggilan diterima. “Assalamu’ alaikum bun..”

“Iya. Alhamdulillah. Sisa nunggu wisuda bulan depan.”

“Besok bun?” Aku terperanjat. Kenapa tiba-tiba bunda menyuruhku pulang secepat itu.

“Iya.. iya bun. Aku ngerti.”

“Ok. Wa’alaikum salam warahmatullah.”

Aku membanting hpku begitu saja di atas kasur. Dengan mengela nafas begitu berat, kuarahkan kembali pandanganku ke luar jendela. Hujan tak lagi tersisa tetesannya. Kini tinggal tanah basah dengan aroma khasnya.

Aku kembali bertanya-tanya, ada apa dengan bunda? Biasanya beliau paling cuek dengan perkara diriku. Bahkan kemarin setelah sidang, sengaja aku tak meneleponnya duluan. Aku hanya ingin memastikan apakah beliau masih peduli padaku? Setelah 2 tahun terakhir ini hubunganku dengannya tidak begitu baik. Yah, sejak aku memutuskan memakai hijab syar’i, beliau mogok bicara denganku. Bahkan jika aku menelepon, hanya Bapak yang mau berbicara, itu pun hanya ala kadarnya saja. Tanya kabar, tanya perkembangan tugas akhirku, tanya uang bulanan, selesai. Namun hari ini berbeda. Bunda menyuruhku pulang besok. Bukan sekedar menyuruh, tapi ada nada paksaan yang kutangkap darinya. Dengan alasan ada perkara keluarga yang ingin dibicarakan. Dan itu menyangkut diriku. Aahh.. membuat hatiku ketar-ketir jadinya. Jangan-jangan perkara hijab lagi?! Uffthhh….

Langkahku gontai, menuju ruang tamu. Senyumku sudah lenyap dari semalam. Bagaimana tidak? Sore kemarin aku tiba di rumah, dan langsung disambut dengan curcolan bunda, dan curcolannya kali ini luar biasa. Membuatku susah tidur semalaman. Mungkin ini cukup klise kedengarannya. Aku saja baru selesai sidang beberapa hari yang lalu, dan bulan depan insya Allah diwisuda. Nah, ada dua perkara yang paling bikin rempong bagi anak gadis dalam fase ini. Kalau bukan disuruh kerja, yah disuruh nikah. Dan.. fiks. aku dihadapkan yang kedua. ini bukan perkara aku belum siap menikah atau tak mau menikah, namun ini tentang seorang lelaki yang sama sekali tidak kukenal datang melamarku.

Konon.. lelaki itu anak dari teman lamanya kakekku. Yang kebetulan 3 hari yang lalu datang berkunjung ke rumah bersama kakeknya. Kebetulan bunda yang memang kebiasan menceritakan perihal anaknya kepada siapapun yang ditemuinya, termasuk perkara diriku yang tak mau mendengar omongannya, agar mengganti jilbabku yang lebar dengan jilbab kecil. Entah, apa yang membuat orang itu..s iapa namanya? Kalau tidak salah bunda tadi menyebutnya Agan? Atau ikan? (Ah, aku tak ingat, dan memang tak ingin untuk mengingat) tiba-tiba keesokan harinya datang memintaku kepada Bapak. Padahal dia belum pernah melihatku. Dan pagi ini, bunda sukses membuatku ingin menghilang dulu di muka bumi. Masalahnya, lelaki itu akan datang nanti jam 10 untuk mendengar langsung jawaban lamarannya. Astagfirullah.. dan ini sudah jam 9. Aku baru bangun jam 8. Akibat tidak bisa tidur semalaman, dan baru tidur ba’da subuh. Ckck. Betul-betul memprihatinkannya diriku saat ini.

Kuletakkan minuman di atas meja. Sepertinya mata-mata yang ada di ruangan ini tertuju padaku. Hampir saja aku menumpahkan minumannya saking gugupnya menghadapi masalah terbesarku hari ini. Aku belum mampu mendongakkan muka. Malu. Sangat. hingga aku duduk di samping Bunda, aku masih mengunci rapat bibirku yang kuyakin sudah nampak jelek karena hatiku tak bisa menerima apa yang terjadi hari ini.

“Katanya Igan, pernah satu sekolah sama Nila yah waktu SMP, yah kan gan?“ ujar seorang laki laki tua yang ada di dekat Bapak.
“Iya betul. Tapi tidak pernah sekelas. Dan mungkin juga Nila sudah tidak ingat.” Suara laki-laki itu membuyarkan lamunanku. kupaksa leherku untuk tak menunduk lagi. Srrr.. hatiku tiba tiba berdesir hebat. Guratan wajahnya masih sama seperti 7 tahun yang lalu, bedanya kini ada sesuatu yang tumbuh di dagunya.
“Dirgantara…” ucapku lirih hampir tak terdengar.

Cerpen Karangan: Afyifah Chairunnisa
Facebook: Rinai Hujan

 

Cari Artikel Lainnya