Home » Kongkow » Cerpen » Kereta Paling Sepi

Kereta Paling Sepi

- Selasa, 19 November 2019 | 20:00 WIB
Kereta Paling Sepi

Oleh: Purwati

 

Lelaki itu terkantuk-kantuk begitu kereta api meninggalkan stasiun Pasar Senen. Ia sudah tidak tahu lagi ketika kereta melewati stasiun Bekasi, Cikampek. Satu penumpang di samping dan dua penumpang di depan, masing-masing asyik memelototi layar HP. Kadang ada yang berdesis, kadang memaki, kadang ada yang tertawa terpingkal. Karena tidak punya HP secanggih mereka, lelaki itu memilih mengantuk. Tidur dan menikmati mimpi.

Di dalam mimpi ia heran melihat menantu yang cukup dengan menggenggam HP bisa menyelesaikan masalah dia pulang naik kereta api. Dia memesan tiket lewat HP, membayar lewat HP, memesan Grab yang dia naiki dari rumah di pojok kota menuju stasiun, juga dengan memainkan tombol maya di kaca HP-nya. Lelaki itu melihat tas dan koper di atas kepalanya.

Ia ingat, kue dan oleh-oleh lainnya datang sendiri ke rumah anak dan menantunya. Dibawa kurir dari sebuah perusahaan dan toko onlineyang barangnya dipesan oleh menantunya. Cukup dengan ketawa-ketawa sambil duduk di sofa, sambil nonton film kartun.

Tidak sampai satu jam barang-barang dan kue-kue lezat berdatangan seperti kena sulap. HP di tangan menantunya seperti tongkat sihir di zaman lampau.

Sebenarnya menantu dan anaknya ingin membelikan HP canggih seperti itu, yang dapat dijadikan tongkat sihir untuk mendatangkan barang, mendatangkan tiket dan mobil pengantar ke mana saja, tetap ia menolak. Ia merasa sudah telalu tua untuk belajar dan mempelajari program-program yang rumit dan jarinya sudah kaku tidak lincah lagi bergerak di banyak titik di layar kaca HP merk tekenal keluaran terbaru. Ia memilih HP lama yang sederhana programnya. SMS dan telepon.

Serta ada program gim kuno. Akibatnya dia tidak bisa menggunakan HP lama sebagai tongkat sihir. Apalagi dia memang tidak suka segala macam sihir itu. Ketika datang ke Jakarta sepekan lalu ia memilih naik becak tua yang dikayuh oleh tukang becak tua menuju agen tiket yang masih buka. Ia membayar dari dompet, bukan dari HP, dan menerima uang kembali yang segera ia sisipkan ke dompet lagi. Tiket itu hanya berisi kode pemesanan.

Dengan demikian sehari sebelum keberangkatan, ia naik becak lagi ke setasiun untuk mengeprint tiketnya. Ia minta tolong kepada petugas yang ada di situ. Setelah yakin mendapat tiket dan tahu jadwal keberangkatan kereta ke Jakarta, barulah ia tenang. Ia naik becak, pulang dan bersiap-siap, menata baju ganti dan bekal lain yang besok pagi benar ia bawa ke stasiun.

Ketika menunggu kereta yang akan mengangkutnya ke Jakarta, ia duduk di ruang tunggu. Penumpang yang juga sedang menunggu, semua, di kiri kanan depan dan belakangnya, sibuk memantul-mantulkan ujung jari ke layar kaca, kadang membuat gerak seperti menggaruk untuk menggerakkan layar maya di HP.

Satu dengan lainnya tidak ada yang bercakap-cakap. Bahkan dengan anak dan isterinya orang-orang itu tidak ngobrol. Sebab anak dan isterinya juga tengah asyik ngobrol dengan benda bernama HP, bukan ngobrol degan manusia hidup. Karena jengkel tidak bisa ngobroldengan siapa pun, dia pun mengambil HP jadulnya.

Ia buka program mainan kuno. Terdengar bunyi nyaring dan berisik ketika ia memainkan gim tentang menggali harta karun.

Orang-orang di sekitarnya heran, memandang dirinya. Mereka heran karena hari gini masih mau bermain gim jadul banget yang menimbulkan bunyi nyaring kasar. Orang-orang di sekitarnya merasa terganggu dengan bunyi pengiring game di HP-nya.

Mereka jengkel, sebab permainan mereka sudah dengan HP canggih yang suaranya halus, terganggu. Lelaki tua itu tidak peduli. Ia kemudian mengganti permainan gim dengan gim lain yang punya bunyi lebih keras lagi.

Tiba-tiba kereta terguncang dan terdengar pengumuman kalau kereta api sebentar lagi akan berhenti di Stasiun Cirebon Perujakan. Lelaki itu terbangun. Penumpang di dekatnya memasukkan HP ke saku. Mereka berdiri menuju pintu.

Lho ke mana?” tanya lelaki itu.

”Kami mau merokok Kek, bosen sejak tadi bermain HP.” Kereta api berhenti. Penumpang yang kebelet merokok meloncat keluar. Kereta berhenti cukup lama.

Setelah kereta bergerak lagi, lelaki itu sudah habis kantuknya. Ia lihat tiga penumpang di dekatnya kembali memainkan HP canggihnya.

Lelaki itu merasa betapa kereta api ini sangat sepi. Ia pun berdiri. Mulai melangkah.

”Ke toilet Kek?” tanya penumpang di sampingnya.

Nggak. Saya mau ke restorasi!”

Di restorasi dia memesan nasi goreng amat pedas. Memesan kopi hitam pahit. Makan dan minum, sambil menonton televisi yang tidak jelas apa yang tengah disiarkan.

Aneh juga, biasanya dia makan nasi goreng dan minum kopi pahit malam hari. Kalau tidak untuk mengatasi sepi, tidak mau dia makan nasi goreng dan minum kopi pahit.

Sambil menghabiskan sisa kopi, lelaki itu bergumam kepada dirinya sendiri, ternyata musuh manusia sekarang adalah sepi. Kesepian tanpa kesempatan ngobrol dengan orang lain. Main HP memang asyik, tetapi HP tetaplah HP. Benda mati.

Kemudian, ia membayangkan, sebenarnya ada cara lain untuk mengisi kesepian di kereta. ”Seandainya di kereta api ini ada fasilitas gerbong khusus diformat jadi mushalla, maka saya bisa shalat khusyuk di situ, tidak shalat sambil duduk di kursi penumpang.

Kalau kereta api ada restorasi untuk melayani kebutuhan jasmani, maka logis kalau juga ada mushallanya, untuk melayani kebutuhan rohani penumpang. Selain itu kalau pas dihinggapi rasa sepi seperti ini saya bisa membaca Alquran di mushalla sepanjang perjalanan. Jadi naik kereta api justru mendapat pahala. Asyik juga,” katanya lirih, kepada dirinya sendiri.

 

Purwati, penulis cerpen

Cari Artikel Lainnya