Home » Kongkow » Cerpen » Ranu Kumbolo

Ranu Kumbolo

- Jumat, 22 November 2019 | 20:00 WIB
Ranu Kumbolo

Situbondo, 1999.

“Aku suka hujan, kalau kamu?”

“Aku suka bintang. kau tahukan kalau bintang itu indah?”

“Hujan juga indah. Hujan seperti cinta, ia meruah dengan tiba-tiba”

“Bintang juga seperti cinta, ia menyinari kegelapan.”

Di malam yang buta dan menggigil, lelaki itu datang dengan membawa sorot mata yang rindu, padahal, kita baru saja bertemu di seperempat jam yang lalu. Senyumnya menukik, senyum yang sangat lebar, hingga gigi-gigi yang rapi itu terlihat sebagian. Pembicaraan kami sederhana, sampai mengantarkan kami pada tengah malam yang bulannya menyemburatkan cahaya purnama, dan kami tidak kemana-mana lagi setelah itu. Di depan kafe kami tidak sengaja bertemu, aku sedang menikmati alunan musik jazz dari dalam dan melamun suatu hal yang entah, tiba-tiba saja lelaki itu duduk di sampingku. Sambil menyedu kopinya, ia terus mengaduk cangkir itu yang aku lihat belum ia jatuhkan gula sedikitpun di dalamnya. Adukan yang tanpa henti, ia juga memerhatikanku dalam-dalam. Seolah ia benar-benar tenggelam. Lama sekali ia memerhatianku, aku tidak nyaman dengan senyum serta matanya yang seperti tertawa. Mata yang seperti sudah mengenalku di sekian tahun, atau bahkan di sekian puluh tahun yang lalu. Lagi, senyumnya juga seolah sedang memberi kesan kepada orang yang sudah ia kenal lama, yang sudah ia kenal dengan akrab. Mata yang aneh, senyum yang misterius.

“Aku belum pernah ke sini sebelumnya,” Kataku, menyapa.

“Aku hampir setiap malam di sini”

“Kenapa?”

“Karena aku kesepian”

“….”

“Kenapa kamu diam?”

“Aku bingung mau bicara tentang apa, sepertinya kamu tidak tertarik dengan hidupku”

“Hahaha, perempuan aneh.” Begitulah dia mengejekku, hanya karena aku membungkam kalimat. Kami menghabiskan malam kali itu dengan secangkir kopi yang ia sedu tadi, kopi yang sangat pahit itu. Pembicaraan kami pun masih sama, pembicaraan yang tidak pernah beranjak serius.

Lalu di suatu senja yang hampir habis, di suatu tempat yang tidak mewah, suatu tempat yang bagiku seperti kehampaan. Ya, hanya angin yang membelai kulitku dengan lembut kali itu, dan, aku masih menunggu. Sendirian. Hampir setengah jamku habis hanya karena menunggu lelaki yang dua minggu lalu mengenalkan dirinya kepadaku, disebuah teras kafe yang lalu. Katanya, ada sebuah minta yang perlu aku kabulkan. Seperti pemaksaan memang, tapi jika bukan karena kalimat waktu itu, aku tidak akan sudi meladeni mintanya. Lelaki yang misterius. “Dengan buku ini, berarti kamu sudah menyepakati bahwa kita akan berteman selamanya, kita akan menjadi sahabat yang fenomenal.” Katanya sambil terkekeh kecil, dan menyodorkan sebuah buku untukku, buku yang kosong, pada beberapa hari yang lalu. Maka dengan ikrar konyol yang sedang ia buat tadi, kami secara resmi yang dipaksa menjadi sahabat. Aku masih di ujung pematang, di ujung senja pula, dan ia pun belum kunjung terlihat sebongkah matanya yang merindu itu. Aku mulai gelisah, menduga bahwa lelaki itu sudah menipuku, sedang mencandaiku. Sialan! Jika benar iya, akan aku pelintir tangannya setelah menunggu yang sia-sia ini.

Hari hampir menutup mata, dan aku masih di tempat yang sama. Cahaya di ujung langit itu menjadi merata jingga kemerah-merahan, angin pun seolah kembali pulang dengan bersamaan, hingga menerpa diriku ini yang bergidik di ujung pematang. Lelaki itu sudah datang, hanya saja aku mulai membencinya karena waktu yang sedang ia permainkan. Pikirnya, memang siapa yang sedari tadi menemaniku di sini? Tidak ada satu pun, kecuali pembicaraan kosongku pada bayangan sendiri. Bukankah itu sudah membuang waktuku, sekaligus waktumu yang sebenarnya akan lebih bermakna jika kamu datang tepat waktu yang seperti kamu sepakati denganku sebelum ini? Ah, aku terlalu banyak bicara sepertinya, bicara pada diri sendiri.

“Kamu sudah lama di sini? Maafkan aku, ada sesuatu yang menghalangiku tadi”

“Iya, tidak masalah, aku merasakan keasyikan di sini”

“Baguslah kalau kamu merasa seperti itu”

“Ada soal apa yang perlu dibicarakan?”

“Aku ingin mengajakmu ke Ranu Kumbolo, di sana seperti surga dunia”

“Ohya? Menakjubkan sepertinya”

“Kamu mau menyutujui tawaranku?”

“Boleh saja, kapan?”

“Besok, aku akan menunggu di depan rumahmu di pagi buta”

“Baiklah. Sampai ketemu besok.” Pembicaraan kami selesai di senja yang habis, aku meninggalkan lelaki itu sendirian di tempat semulaku tadi. Setidaknya, biar ia merasakan kesendirian yang sempat aku benci.

Pagi yang seperti ia janjikan, pagi yang sangat buta, bahkan ayam pun tidak menyadari kalau ada manusia yang bangun lebih awal darinya. Tapi sayangnya, ia kembali mengingkar seperti senja yang berlalu. Ah, dasar lelaki yang tidak bisa dipegang mulutnya. Sampai kapan lagi aku harus berdiri dan menggigil di sini dengan kesendirian? Atau, apa tidak ada teman lagi, selain bersendiri di sudut pagi buta ini? Tidak berwujud manusia pun tak apa, setidaknya aku tidak sendirian. Karena, aku membenci sendirian. Dua puluh menit setelahku menghardiknya dalam hati, aku melihat mobil Hammer gagah menghampiri diri ini yang bergidik kedinginan. Semakin dekat mobil itu mendekatiku, aku semakin memantapkan diri bahwa itu lelaki pecundang yang sedang aku tunggui.

“Hehe, maafkan keterlambatan ini, alarmku tidak kuasa membangunkan tidurku semalam,” ujarnya sambil terkekeh. Sedang aku melihatnya sinis, sepertinya ia mampu membahasakan sendiri. Aku diam. Masih mematung.

“…..”

“Jangan diam saja, ayo masuk,” Lanjutnya lagi, sambari membukakan pintu mobil yang bersebelahan dengannya. Aku tetap memilih diam. Bahkan, perjalanan kami yang tertempuh hampir 3 jam itu tidak ada pembicaraan sama sekali. Memang, sesekali ia memancingku untuk bicara, tapi aku hanya menganggukkan kepala untuk mengatakan iya, dan menggelengkan kepala untuk menyatakan tidak, dari semua pertanyaan dan pernyataannya kali itu.

“Bagaimana? Kamu menyukai tempat ini?” Tawarnya padaku, aku tahu ia menginginkan jawaban iya, maka akan aku turuti mintanya.

“Ya, ini tempat yang menakjubkan. Air yang banyak dan membuat keindahannya sendiri”

“Kamu tepat. Ranu Kumbolo memang seperti itu, ia membuat keindahannya sendiri”

“Bagaimana kamu tahu tempat seperti ini?”

“Aku sudah pernah kesini sebelumnya. Tunggu saja sampai malam tiba, kamu akan lebih takjub dengan Tuhan semesta ini”

“Ya, aku penunggu yang hebat memang.” Ujarku, kali ini aku melirik lelaki itu, dan ia mengetahuinya.

“Hehe, kamu memang pemaaf yang buruk” Tuturnya, lagi-lagi ia terkekeh. Tawanya memang seperti tawa yang rindu, tawa yang perlu istirahat dari kejenuhannya, ia perlu benar-benar tertawa, maka aku biarkan saja ia untuk tertawa sepuasnya. Sampai malam menyambut kami di sekawanan bintang yang bertebar, kami masih betah untuk melanjutkan pembicaraan yang ringan. Kami juga mendirikan tenda, karena kami ingin menikmati bermalam di Ranu Kumbolo. lalu di antara tenda kami, ada tikar yang membentang untuk beralaskan duduk kami. Aku dan ia, duduk bersama di bawah bintang-bintang yang riang, tanpa awan mendung yang bergumul di antaranya.

“Sebentar lagi ada sesuatu yang kamu sukai”

“Apa?”

“Coba lihat di sana…” Tuturnya sambil menunjuk langit di sebelah tenggara. Ya, tepat di lujung telunjuknya mengarahkan pada sebuah fenomena alam yang luar biasa hebat, itu Milky Way. Galaksi Bima Sakti dalam bahasa yang lain. Bentuknya spiral yang besar dan bercahaya terang. Tentu, karena itu galaksi yang menampung kira-kira 200-400 milyar bintang dengan ketebalan 1000 tahun cahaya dan berdiameter 10.000 tahun cahaya, yang salah satu di antaranya adalah bintang raksasa itu, matahari yang memesona. Sungguh menakjubkan! Aku selalu mengagumi Tuhan semesta alam ini. Kepalaku saja masih mendongak ke atas tak berjeda, hingga aku merasakan pegal di leher ini, aku baru menurunkan pandanganku kali itu.

“Kamu mau kemana, Al?” Tuturku saat ia tiba-tiba beranjak berdiri dan seperti ingin pergi.

“Ada sesuatu yang harus aku cari, tunggu sebentar, aku tidak akan lama”

“Berjanjilah padaku kamu tidak akan lama, aku tidak bisa apa-apa tanpamu kali ini, dan seterusnya” Lalu ia meninggalkan sebuah senyuman yang misterius darinya. Dan ia semakin lama semakin hilang dari sudut mataku. Ia hilang dan aku sendiri.

Hingga subuh datang membujukku untuk pulang, ia tetap hilang dari pandanganku. Ia masih tidak ada. Ah, sial, pergi kemana orang ini? Setidaknya beri aku kabar sedikit saja lewat sms atau apapunlah, sekiranya agar aku tidak khawatir dan lalu gundah. Aku gelisah di pagi buta, seperti yang kemarin, tapi berbeda persoalan. Subuh-subuh aku menggelandang kakiku untuk berani ke alam bebas, untuk mencari tanda-tanda lelaki itu berada. Sampai sejauh ini, sejauh siang membumbung dan hingga kembali pulang lagi, aku tidak menemukan lelaki itu, di hutan ataupun di tenda yang semula. Senja menyemburatkan warna jingganya lagi, dan kesendirianku yang semakin menerkam diri. Hari-hari selanjutnya pun masih sama, masih di ketiadaan lelaki itu, dan aku masih di Ranu Kumbolo. Sendirian. Aku putus asa mencarinya, tangisku pun tidak memberi arti ataupun memberi lelaki itu sinyal yang membuatnya kembali, semuanya tak berhasil. Sampai-sampai tenda itu rubuh karena angin yang dahsyat dan lalu pergi, hingga aku tidak minat untuk memperbaikinya. Aku seperti jalang yang hilang, sendirian di kehampaan, manusia yang hilang dari peradaban. Hampir satu minggu aku di sini, lusuh semua pakaianku dan rambutku menjadi kumal. Sial! aku seperti gembel sekarang. Lalu aku memutuskan untuk keluar dari Ranu Kumbolo yang menyisakan kecewa terdalam. Aku pergi dengan berteman, lalu pulang dengan sepenuh beban. Aku kembali pulang.

 

Purbalingga, 2005.

Untukmu, pecinta bintang.

 

Dari aku, sang pecinta hujan. Bagaimana kabarmu sekarang? Maafkan aku menanyakan yang tidak layak untuk aku tanyakan. Aku meninggalkan dirimu sendirian di Ranu Kumbolo, karena ada sebuah alasan yang mengikat dan menyeretku untuk mengikutinya. Setelah aku berjanji padamu itu, aku pergi ke sebuah tempat untuk mencari Negeri Bunga. Kata pak tua yang kita temui sebelum sampai di Ranu Kumbolo dulu, di atas surga itu ada sebuah Negeri Bunga dan aku tertarik untuk mencarinya. Setelah aku menemukan apa yang aku cari, aku kembali pulang tanpa menjemputmu, karena aku tahu mungkin kamu akan membenciku dengan kegagalan menepati janji saat itu. Tapi tetap bacalah surat ini, memang benar persahabatan kita fenomenal. Aku menemukan jalan saat aku lupa untuk kembali dari sana, hanya karena aku selalu mengingat keberadaanmu dan memohonkan maaf kepada Tuhanmu. Percaya atau tidak, memang seperti itu adanya. Maafkan aku, aku tidak pandai untuk merayu hatimu agar memaafkanku, hanya ini yang mampu aku tulis dengan air mata, untukmu. Aku minta maaf.

 

Situbondo, 2005.

Dari aku, utusan bintang.

 

Aku langsung membalas suratmu saat pak pos tiba. Aku membencimu, Al! Bagaimana bisa kamu mampu meninggalkan aku di kesendirian, padahal kamu tahu aku adalah sahabatmu? Aku menerima alasanmu, manusia memang tiada kuasa dengan hal baru yang dikatakan indah, seperti Negeri Bunga yang pak tua itu katakan. Aku selalu membencimu. Tapi, aku sangat senang saat menerima suratmu ini. Ah, aku begitu labil, bukan? Intinya, aku bahagia dengan kamu, sahabat. Setelah sekian tahun tiada kabar darimu sama sekali, aku kira kamu sudah tiada di bumi. Karena bagaimana mungkin kamu masih mampu kembali dibeberapa tahunmu yang kamu habiskan hilang? Pikirku, tapi ternyata bukan begitu nyatanya. Aku sangat menikmati persahabatan ini. Ya, walaupun dulu aku sering menghardikmu dalam hati karena ulah keterlambatanmu, tapi kamu telah membawaku di bawah Milky Way, hal baru yang membuatku jatuh cinta lagi. Terima kasih, Al. Bagiku, sahabat adalah yang masih hidup di hatimu dan memberi jalan kembali, lalu kamu masih mengingatnya dan menginginkan dirinya tahu bahwa kamu masih tetap menganggapnya sahabat, walaupun mereka sudah sama-sama hilang dalam komunikasi. Sepertimu itu. Untuk semuanya, terima kasih. Sebentar lagi pak pos akan pulang, karena ia sudah menungguku lama untuk menulis surat balasan ini. Sampai jumpa dilain waktu dan tempat yang indah, Al.

Cari Artikel Lainnya