Home » Kongkow » kongkow » Bumi Krisis Keanekaragaman Hayati

Bumi Krisis Keanekaragaman Hayati

- Selasa, 18 Juni 2019 | 09:34 WIB
Bumi Krisis Keanekaragaman Hayati
  • Kondisi keanekaragaman hayati kian menghawatirkan bagi keberlanjutan kehidupan manusia dan makhluk hidup di Bumi
  • Laporan IPBES [The Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services] 2019 menggambarkan dalam tataran global, 50 persen perluasan sektor pertanian dan perkebunan menyebabkan hilangnya hutan, termasuk budidaya monokultur
  • Sejarah mencatat, banyak peradaban besar di muka Bumi musnah, timbul lalu tenggelam akibat krisis ekologi yang dilakukan manusia hingga taraf yang tak mampu dikendalikan lagi
  • Hancurnya ekosistem, secara langsung atau tidak, mengikis tatanan ekonomi, penghidupan, keamanan pangan, kesehatan, dan kualitas hidup manusia di seluruh dunia

Sejak 1980-an, petani kelapa di sejumlah desa di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, akrab menggunakan pestisida untuk membasmi hama belalang sexava. Belalang ini ganas, melahap daun hingga bunga kelapa di wilayah Sulawesi Utara dan Maluku Utara. Begitu hebat serangannya, pembasmian dilakukan dengan penyemprotan dari udara menggunakan helikopter.

Namun, bukan hama yang hilang dari perkebunan kelapa di Talaud, melainkan satwa-satwa tak berdosa lainnya. Satu di antaranya adalah burung nuri talaud [Eos histrio talautensis], satu sub-jenis yang hanya hidup di pulau ini yang merupakan pemangsa alami belalang sexava.

Hama belalang tetap mengganas hingga kini meskipun dosis pestisida dilipatgandakan. Bahkan, pestisida tidak lagi disemprotkan melainkan ‘disuntikkan’ lewat lubang yang dibor pada batang pohon kelapa. Semua upaya tak membuat belalang sirna, makin kebal. Petani bak makan buah simalakama: tak menggunakan pestisida tanaman habis, pakai pestisida berarti memproduksi bahan makanan mengandung racun.

 

Nuri talaud [Eos histrio talautensis]. Foto: Burung Indonesia

Lain kisah di pedalaman antara Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, tempat tersembunyi danau-danau purba Matano, Mahalona, dan Towuti. Tersohornya tiga danau ini tak terbantahkan, dihuni biota-biota air tawar yang tak akan dijumpai di belahan dunia lain, bahkan di sungai dan danau di Pulau Sulawesi. Kesehatan air di tiga danau ini bergantung pada rimbunnya hutan-hutan yang menyelimuti perbukitan di sekeliling, baik yang berstatus kawasan konservasi maupun hutan lindung.

Sejak awal 2000-an beberapa petani di Kecamatan Sorowako, desa-desa sekeliling tiga danau itu, mulai mengembangkan tanaman lada di kebun mereka. Upaya ini berhasil sehingga diikuti petani setempat lainnya. Produksi dan harga jual yang untung menarik minat warga menanam lada, bahkan orang luar dan pendatang tak ingin ketinggalan meraup Rupiah dengan berinvestasi pada rempah-rempah ini.

Hingga akhirnya, lahan pertanian tak bersisa lagi untuk menanam lada, perlahan kebun merangsek kawasan hutan. Banyak petak hutan di sekitar danau, utamanya Towuti, berganti menjadi kebun lada yang tak nampak dari luar karena dibuka agak ke dalam.

Serbuan lada tak hanya terjadi di Sulawesi Selatan, melainkan hingga melewati perbatasan Sulawesi Tenggara. Semakin luas kawasan hutan yang berganti menjadi kebun monokultur rempah. Kerusakan hutan diperparah pembalakan yang terjadi di sekitar danau.

Penyemprotan pestisida di kebun merica tepian Danau Matano. Foto: Burung Indonesia

Potret krisis

Dalam laporan komprehensif bertajuk Global Assessment Report on Biodiversity and Ecosystem Services 2019 oleh IPBES [The Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services] dipaparkan status keanekaragaman hayati Bumi yang kian menghawatirkan bagi keberlanjutan kehidupan. Dokumen ini, yang disintesis dari 15.000 kajian di seluruh dunia oleh 145 ilmuwan dari 50 negara tiga tahun terakhir, mengungkapkan Bumi kehilangan lebih dari 80 persen biomas hewan menyusui. Ini terjadi ketika berbagai ekosistem alami dihancurkan pada laju hingga ratusan kali lebih cepat dari yang terjadi selama 10 juta tahun terakhir.

Dalam tataran global, 50 persen perluasan sektor pertanian dan perkebunan menyebabkan hilangnya hutan, termasuk budidaya monokultur. Semua itu dalam rangka menaikkan produksi pangan hingga 300 persen sejak 1970Hutan-hutan dibabat untuk membuka penggembalaan ternak, sawah, ladang gandum, jagung, anggur, dan berbagai komoditi yang memanjakan manusia dengan populasi terus tumbuh hingga lebih dari 7 miliar jiwa.

Menurut laporan tersebut, pertanian dan perikanan merupakan sektor paling berkontribusi memusnahkan keanekaragaman hayati Bumi. Pemakaian pestisida yang luar biasa volumenya disertai pembukaan banyak habitat alami seperti hutan mengancam punahnya satu dari tiap sepuluh jenis serangga. Serangga, selain tentu saja burung dan kelelawar, berperan penting dalam penyerbukan tanaman, tidak terkecuali tanaman yang menghasilkan pangan bagi manusia.

Fungsi ini tidak bisa digantikan seperti mengganti nutrisi tanah dengan pupuk atau mengganti musuh alami hama dengan pestisida. Risiko terganggunya penyerbukan tanaman oleh serangga setara dengan kerugian senilai US$ 577 miliar akibat gagal panen. Guna memenuhi kebutuhan pangan, kita justru menghancurkan sistem alam yang bekerja sebagai pondasinya.

Lautan tak luput dari penghancuran sistematis, terhitung hanya 3 persen yang aman dari tekanan manusia akibat perikanan industrial, eksploitasi berlebih, dan sampah. Terhitung, 100-300 juta orang di pesisir akan mengalami peningkatan risiko akibat hilangnya perlindungan habitat. Sementara itu, sumber daya laut tinggal 7 persen yang masih bisa dimanfaatkan optimal karena sisanya telah digunakan hingga batas maksimal.

Khusus kawasan Asia Pasifik, proyeksi yang dimunculkan bagi keanekaragaman hayati yakni 24-25 persen jenis mamalia dan burung akan punah di dataran rendah Asia Tenggara; serta sekitar 45 persen kemungkinan hilangnya habitat dan spesies pada 2050 jika tidak ada perubahan sentuhan terhadap alam dan keanekaragaman hayati.

 

Alih fungsi lahan menjadi wilayah tambang liar di Gorontalo. Foto: Burung Indonesia

Wallacea

Hancurnya ekosistem, secara langsung atau tidak, mengikis tatanan ekonomi, penghidupan, keamanan pangan, kesehatan, dan kualitas hidup manusia di seluruh dunia. Sejarah mencatat, banyak peradaban besar di muka Bumi musnah, timbul lalu tenggelam akibat krisis ekologi ketika manusia memantik krisis hingga taraf yang tak mampu lagi dikendalikan.

Di perairan Wallacea, yaitu laut-laut di sekitar pulau-pulau Sulawesi, Maluku, dan Maluku Utara serta Nusa Tenggara, praktik perikanan yang merusak kian lazim. Menangkap ikan secara tradisional dan ramah lingkungan adalah hal langka. Nelayan-nelayan di perairan Solor Selatan, perairan Lembata, perairan Pulau Boano, perairan Labobo-Bangkurung, dan banyak pesisir lainnya telah banyak yang piawai meracik peledak buatan untuk menangkap ikan secara cepat dan mudahPraktik ini tidak hanya membunuh ikan-ikan non-target, melainkan juga menghancurkan terumbu karang, tempat ikan kecil berlindung, dan biota laut lain.

Pada akhirnya, nelayan juga menanggung akibatnya, harus melaut semakin jauh. Sementara itu, armada perusahaan penangkap ikan skala besar memanen sebanyak mungkin, tanpa berpikir memberi waktu jeda bagi ekosistem laut meremajakan diri.

Pembangunan berdasarkan prinsip berkelanjutan dan berkeadilan harus dilakukan. Tujuannya, mengkonservasi lingkungan, memperbaiki keanekaragaman hayati, dan meningkatkan layanan alam [ecosystem services]. Manusia memiliki takdir sebagai penjaga kehidupan yaitu ekonomi [sumber daya alam] dan budaya [nilai-nilai estetika, sosial, dan religi].

 

Nelayan di pantai selatan Lebau, Flores. Foto: Burung Indonesia/Erlangga

Praktik berkelanjutan

Pelestarian keragaman hayati sekaligus mengolah sumber daya alam berkelanjutan telah dilakukan tiga desa di Kabupaten Kepulauan Talaud, yaitu Desa Ambela, Desa Bengel, dan Desa Rae Selatan, sejak mengikuti Program Kemitraan Wallacea pada 2016

Demplot pertanian organik yang mereka kelola mampu menghasilkan bahan pangan sehat. Warga juga menghentikan penggunaan pestisida dan mengendalikan hamasexava secara alami. Atas upaya tersebut, ketiga desa ini ditetapkan oleh Bupati Talaud sebagai Desa Konservasi.

Melalui program yang sama, Desa Nuha dan Desa Bantilang di pinggir Danau Matano dan Towuti membuat tata ruang desa berdasarkan kearifan mereka. Ruang kampung dibagi beberapa fungsi yaitu permukiman, produksi, dan lindung. Berbekal peraturan desa, warga secara sadar menghentikan perambahan hutan lindung untuk perkebunan merica. Aturan ini pun berlaku tegas terhadap orang luar yang coba membuka lahan di kawasan hutan.

 

Danau Matano yang menyimpan potensi besar satwa air termasuk udang kardinal matano. Foto: Burung Indonesia/Tri Susanti

Tak ketinggalan, di pesisir Boano, Solor Selatan, Lembata, dan beberapa lokasi lain pada Program Kemitraan Wallacea, para nelayan menghidupkan lagi praktik perikanan ramah lingkungan dengan membentuk daerah perlindungan laut [DPL] tingkat desa.

Di zona inti DPL, tidak dibolehkan ada penangkapan ikan menggunakan alat apa pun. Sedangkan di zona perikanan berkelanjutan, nelayan bebas menangkap ikan asal menggunakan alat tangkap ramah lingkungan.

Dalam waktu kurang setahun, inisiasi ini berhasil memulihkan perairan pesisir yang ditandai berlimpahnya ikan. Nelayan lebih mudah, lebih dekat, dan lebih banyak mendapat ikan ketimbang bom dan racun ikan masih merajalela.

Di Provinsi Sulawesi Tengah, model efektif ini menjadi inspirasi dicadangkannya kawasan konservasi perairan daerah Banggai Darat, Laut dan Kepulauan [Dalaka] seluas 869,059.94 hektar.

 

Caridina dennerli atau udang kardinal matano, salah satu jenis udang endemis Matano. Foto: Burung Indonesia/Tri Susanti

Pemimpin negara hingga daerah, maupun sektor, dengan otoritas dan sumber daya yang dimiliki tentu mampu menggerakkan perubahan-perubahan yang berarti bagi penyelamatan keanekaragaman hayati. Untuk selanjutnya, perlindungan keanekaragaman hayati dijadikan amanat rencana pembangunan.

Mengutip Joseph Settele, wakil ketua IPBES: “Manusia tidak perlu panik namun perubahan drastis harus segera dimulai karena pendekatan business as usual tak akan cukup,” harus dilakukan dengan tindakan nyata. Menyelamatkan lingkungan dan keanekaragaman hayati, dari pemanfaatan tak lestari, harus ditunjukkan.

Cari Artikel Lainnya