Home » Kongkow » kongkow » Menjadi Guru yang Sabar, Mengapa Tidak ?

Menjadi Guru yang Sabar, Mengapa Tidak ?

- Selasa, 12 Februari 2019 | 11:10 WIB
Menjadi Guru yang Sabar, Mengapa Tidak ?

Setelah lulus kuliah pun sebenarnya penulis berkeinginan bekerja di perusahaan yang bekerja dibidang listrik di Bandung, namun sekali lagi keadaan saat itu sedang krisis moneter yang mengakibatkan banyak perusahaan melakukan efisiensi tenaga kerja dengan merumahkan ribuan tenaga kerja alias putus hubungan kerja. Jadi sangat tidak mungkin untuk melamar kerja di industri atau perusahaan. Dan anehnya juga tawaran kerja yang ada pada saat itu juga hanya menjadi guru di sekolah SMK (dulu STM) swasta. Apa boleh buat dari pada menjadi pengangguran, penulispun melamar jadi guru, dan jadilah penulis seorang guru.

            Awal menjadi guru SMK swasta ternyata tidak mudah, karena harus menghadapi berbagai peserta didik dengan berbagai latar belakang dan karakter yang berbeda-beda. Hal ini membuat penulis harus berfikir bagaimana penulis harus bersikap menghadapi peserta didik yang memang memiliki bermacam-macam persoalan. Misal ada peserta didik yang sering terlambat, sering membolos, sering tidak masuk sekolah, suka membuat ribut di dalam kelas, dan lain-lain.

            Selama kurang lebih tiga tahun pertama penulis menjadi guru, penulis sering bersikap keras dan gampang marah terhadap peserta didik yang bermasalah. Dalam pemikiran penulis pada waktu itu jika penulis bersikap keras dan memarahi mereka yang melalukan pelanggaran terhadap peraturan sekolah, maka akan membuat peserta didik menjadi takut dan jera, serta mau lebih taat dalam mematuhi peraturan sekolah yang ada, terutama selama di dalam kelas. Namun ternyata apa yang penulis lakukan dan alami ketika penulis sebagai guru harus bersikap demikian, tidaklah membuahkan hasil yang membawa perubahan yang optimal terhadap peserta didik yang bermasalah.

Memang ada beberapa yang mau berubah, namun tidak sedikit juga yang justru tidak mengindahkan teguran dan nasihat penulis yang membuat penulis jadi jengkel dan terkadang emosi juga. Selain itu sikap tersebut ternyata membuat penulis merasa menjadi cepat lelah baik fisik maupun pikiran, karena harus sering mengeluarkan energi ekstra untuk bersikap demikian. Artinya sikap yang penulis tunjukkan tersebut ternyata tidak efektif membawa perubahan yang baik dan benar terhadap peserta didik.

Maka dari itu perubahan harus penulis mulai dari diri penulis sendiri, yaitu merubah sikap dan pendekatan kepada para peserta didik yang bermasalah, terutama di dalam kelas. Hal yang utama dan pertama harus penulis pelajari adalah bersabar serta menguasai diri untuk tidak mudah emosi. Penulis banyak belajar dari guru-guru yang sudah sangat senior, penulis melihat bahwa mereka ternyata juga memiliki tingkat kesabaran yang lebih dalam menghadapi peserta didik yang bermasalah.

Berikut beberapa tips yang penulis dapatkan agar bisa menjadi guru yang sabar :pertamalalukan pendekatan secara personal dengan peserta didik yang bermasalah, cari tahu mengapa mereka berbuat salah atau melakukan pelanggaran. Terkadang peserta didik yang selalu datang terlambat bukan karena malas bangun pagi, tapi ada yang dikarenakan tiap malam membamtu orang tuanya berjualan sampai tengah malam. Ada peserta didik yang di dalam kelas sering berulah, karena sebenarnya di lingkungan keluarganya merasa kurang diperhatikan orang tuanya. Dengan pendekatan secara personal biasanya peserta didik lebih merasa diperhatikan dan dihargai.

Keduabelajar berusaha menguasai diri agar tidak terpancing emosi melihat sikap dan perbuatan peserta didik yang melakukan pelanggaran. Hal ini bukan berarti kemudian melakukan pembiaran terhadap peserta didik yang melakukan pelanggaran, namun berusaha bersikap arif dan bijaksana. Terkadang dengan bersikap diam sebentar dan tidak emosi, justru membuat peserta didik menjadi sadar bahwa kita sedang tidak suka peserta didik yang suka membuat gaduh di dalam kelas. Ibarat angin, kita menjadi angin sepoi-sepoi yang membuat orang terbuai, dan bukan angin topan yang memporak-porandakan.

Ketigadengan sikap yang sabar mencoba berusaha mencarikan solusi atau pemecahan masalah yang di hadapi peserta didik, sehingga peserta didik merasa memperoleh teman dalam menghadapi masalahnya.

Keempattidak bersikap pendendam terhadap peserta didik yang melakukan kesalahan terhadap kita. Sebagai guru dan pendidik harus bisa menunjukkan keteladanannya dalam bersikap sabar dan mengampuni. Sudah banyak kasus guru yang dipukul oleh peserta didiknya, jika guru menjadi dendam maka jelas itu bukan guru yang baik.

Beberapa tips itulah yang penulis ikuti dan penulis coba lakukan dan hasilnya lebih bagus dari sebelumnya, terutama setalah penulis berpindah mengajar di SMK Negeri 2 Sragen. Dimana peserta didik lebih merasa nyaman dekat dengan penulis dan merekapun akhirnya merasa enggan untuk berbuat salah karena segan dengan gurunya yang sabar. Tentu saja masih banyak cara yang perlu dikembangkan agar bisa menjadi guru yang sabar dan dicintai peserta didiknya. Menjadi guru yang sabar, mengapa tidak? Karena kesabran merupakan kunci utama dan pertama ketika anda ingin menjadi guru yang profesional dan bisa diterima anak didik.

Cari Artikel Lainnya