Home » Kongkow » Tahukah Kamu » Begini Sulitnya Menjadi Guru Milenial

Begini Sulitnya Menjadi Guru Milenial

- Kamis, 28 Februari 2019 | 14:30 WIB
Begini Sulitnya Menjadi Guru Milenial

“Waktu saya ke ruang guru ya mas, saya lihat mahasiswa PPL lagi cemberut dan matanya berkaca-kaca. Lah saya tanya kamu kenapa?

Dia jawab katanya ga mau masuk kelas lagi, saya udah ga mau PPL lagi, gapapalah ngga jadi guru juga”

Saya tidak terkejut mendengar cerita salah seorang guru yang saya temui saat penyusunan penelitian saya.

Dia menceritakan kondisi mahasiswa yang sedang Program Praktik Lapangan (PPL) di sekolahnya.

Mahasiswa itu bukanlah yang pertama. Sudah banyak mahasiswa yang mengalami kondisi sama saat praktik di sekolahnya.

Mahasiswa tersebut, sambungnya, menceritakan bagaimana suasana kelas yang ternyata tidak seperti yang ia bayangkan.

Saat ia melaksanakan ulangan harian, suasana kelas sangat ricuh. Siswa bertebaran seperti halnya butiran debu, mencari informasi dari berbagai arah untuk menyelesaikan soal ulangan.

Mahasiswa itu tentu tidak hanya berdiam diri. Ia berkali-kali menegur, sampai berteriak untuk menenangkan suasana kelas.

Namun apa daya, suara dan tubuhnya yang kecil tidak bisa menahan tubuh siswanya yang lebih besar untuk ‘merecoki’ suasana ulangan.

Hingga pada akhirnya, ia pun kesal. Matanya berkaca-kaca dan ia hanya duduk di belakang mejanya.

 Pada saat itulah, ternyata ada siswa yang mengabadikan suasana kelas yang ricuh dan guru (mahasiswa) yang terduduk di belakang mejanya. Lalu membagikannya ke media sosial dengan disertai caption: “Pantes aja muridnya kaya gini, gurunya juga diem aja”.

Peristiwa itu tidaklah terlalu mengejutkan saya. Memang, peristiwa semacam itu adalah salah satu hal yang sering dialami para mahasiswa program studi kependidikan saat melakukan praktik lapangan.

Mereka seolah mendapatkan daya kejut yang membuat mereka tidak siap dengan situasi kenyataan yang mesti dihadapi di ruang kelas.

Meskipun siasat untuk mengatasi kondisi itu, sudah dipersiapkan sebelumnya dengan praktik microteaching atau peerteaching dengan teman sekelas saat berkuliah.

Berkaca pada peristiwa yang dialami oleh mahasiswa tersebut, ada sesuatu yang tidak beres dalam dunia pendidikan kita.

Entah itu dalam diri siswa yang tidak mempunyai karakter untuk menghormati gurunya. Ataupun dari guru (mahasiswa tersebut) yang tidak mampu mengondisikan suasana kelas. Atau justru ada faktor lain yang nyatanya turut memengaruhi kondisi pendidikan kita.

Namun, bagaimanapun juga, masyarakat selalu dan terlalu terfokus pada dua subjek tersebut: guru dan siswa, ketika kondisi pendidikan dipersoalkan.

Dan yang selalu menjadi kambing hitam dalam carut marut kondisi pendidikan Indonesia adalah guru sebagai ujung tombak pendidikan bangsa.

Bukan hal yang baru dan aneh ketika akhir-akhir ini banyak guru yang terjerat pidana. Entah itu memang karena kesalahan gurunya sendiri, maupun kesalahan yang ditujukan kepada guru.

Kita ingat bagaimana seorang guru yang dipidanakan karena menegur siswa yang merokok. Orangtua siswa –yang memiliki kedudukan militer- tidak terima dengan perlakuan guru hingga akhirnya memidanakan guru tersebut.

Atau, jika ternyata postingan siswa tadi menjadi viral, bukan tidak mungkin para netizen akan menyudutkan guru. S

udut pandang yang disajikan oleh siswa dalam media sosial dapat menggiring opini publik bahwa guru yang bersangkutan tidak becus dalam menguasai kelas.

Inilah yang mesti dihadapi guru di era milenial saat ini. Guru menghadapi objek pendidikan yang memiliki karakter yang terbentuk dari pergaulan kemajuan teknologi.

Mereka, para siswa, mendapatkan asupan informasi yang terkadang tidak terkontrol di media sosial. Sehingga, lambat laun karakter yang tumbuh pun adalah karakter yang pragmatis dan individualis.

Kondisi yang dilematis akhirnya mesti dihadapi oleh guru. Selain mengajar, mereka juga mesti mendidik karakter siswa.

Melakukan pendekatan kepada siswa yang memiliki karakter individualis dan pragmatis tidaklah mudah. Jika siswa tidak berterima, maka konsekuensinya guru akan mendapat masalah.

Maka, sudah semestinya usaha untuk memperbaiki kondisi pendidikan Indonesia ini mestilah diamati dari beragam faktor penyebab lainnya, bukan hanya guru dan siswa. Salah satunya adalah situasi negeri, baik situasi politik maupun sosial.

Tidak dapat dipungkiri bahwa para politisi memang mendapat sorotan lebih banyak dari masyarakat, pun dari siswa.

Para siswa secara langsung maupun tidak juga akan mengenal berbagai karakter yang ada pada diri politisi. Bahkan tidak mungkin karakter para siswa pun juga ada sedikit banyaknya andil dari tingkah laku para politisi.

Terlebih lagi kini isu intoleransi merebak di kalangan masyarakat, yang pada akhirnya menjadi permasalahan yang sangat kompleks.

Situasi diperparah dengan sistem pendidikan yang selalu berubah di setiap pemerintah yang berkuasa. Istilah ganti menteri ganti kurikulum bukanlah guyonan semata.

Terbaru, kini siswa seolah ‘dipenjara’ dalam lingkungan yang bernama sekolah. Para siswa banyak menghabiskan waktunya di sekolah, sekitar delapan jam per hari.

Maka, secara psikologis mereka terkadang sudah terlalu lelah dan jemu karena dijejali berbagai informasi selama kurang lebih delapan jam per hari.

Inilah situasi yang mesti disadari bersama. Guru memang memiliki porsi sebagai garda terdepan dalam pendidikan kita.

Namun, lingkungan sekitar siswa pun harus mampu mendukung tercapainya pendidikan Indonesia yang lebih baik.

Di tengah kondisi refleksi pengorbanan Idul Adha ini, maka marilah kita refleksikan kembali segala pengorbanan untuk memperbaiki atmosfer pendidikan Indonesia.

Cari Artikel Lainnya