Home » Kongkow » Tahukah Kamu » Mengapa Guru Sering Mengomel?

Mengapa Guru Sering Mengomel?

- Jumat, 14 September 2018 | 09:21 WIB
Mengapa Guru Sering Mengomel?
Apa yang kau ingat dari seorang guru yang pernah mengajarmu di sekolah? Kalau bukan kebaikannya, pastilah keburukannya yang kita kenang. Ini ceritaku tentang seorang guru di hari guru.

Guru yang Sering Ngomel

Dia seorang guru perempuan, pengasuh mata pelajaran Biologi di SMAku dulu. Usianya mungkin lebih dari 30 tahun saat itu. Sudah matang untuk membina rumah tangga. Perawan tua, sering disematkan ke namanya oleh beberapa teman di luar kelas jika kesal dengannya.
 
Aku juga sempat tidak menyukainya. Dia sering mengomel di depan kelas. Omelannya terasa panjang dan melebar ke mana-mana. Kelas menjadi hening. Hanya suara omelannya saja yang terdengar. Suasana belajar di kelas jadi tidak nyaman lagi. Semangat belajar menguap seketika.
 
Karena kebiasaan mengomelnya itu, aku berharap tidak akan bertemu dengan dia lagi di kelas III. Padahal aku memilih kelas IPA. Kecil kemungkinan tidak bertemu dengan dia lagi. Apalagi jumlah guru di sekolahku terbatas.
 
Benar saja, di kelas III IPA, pelajaran Biologi kembali diasuh olehnya. Karena kelas IPA, bertambah pula jam pelajaran sains. Artinya, semakin sering aku dan teman-teman sekelasku bertemu dengannya. Hanya saja, di kelas III, aku sudah terbiasa dengan omelannya. Sepertinya teman-teman sekelasku juga. Di kelas III IPA, saat guruku itu ngomel, kami sibuk dengan kegiatan rahasia: baca buku, corat-coret, atau pasang tampang menyimak padahal pikiran berkelana entah ke mana. Omelannya jadi angin lalu saja.
 
Soal statusnya yang belum menikahpun semakin sering jadi bahan candaan. Misalnya si ibu suka dengan seorang cowok di kelas III IPA. Sebab cowok ini kerap terhindar dari omelan dan amarahnya, dan dianggap mendapat perlakuan spesial dari si ibu.
 

Kenal Lebih Dekat dengan Sang Guru

Satu momen membuatku tahu sisi lain ibu guru ini. Pada lebaran terakhirku di SMA, aku dan beberapa teman sanjo (silaturahim saat lebaran) ke rumahnya. Kami mengendarai angkutan umum. Lokasi rumahnya ternyata cukup jauh dari sekolah kami. Mungkin dia perlu waktu 1-2 jam untuk datang ke sekolah. Setahuku dia juga pergi-pulang dengan kendaraan umum; naik bus kota, angkot, dan becak! SMAku memang jauh dari jalan raya. Hanya ada becak sebagai sarana angkutan. Pastilah ia berangkat dari rumahnya lepas subuh.
 
Tiba di rumahnya, aku terkesima. Ia tinggal di rumah panggung kayu, khas rumah-rumah di pinggir Sungai Musi. Cat dan warna kayu sudah memudar. Mungkin sudah puluhan tahun usia rumah itu. Ketika memasuki rumah, aku lebih terkejut lagi. Guruku itu tampil ala kadarnya seperti ibu rumah tangga kebanyakan, mengenakan pakaian longgar seperti daster. Ia tengah berada di antara tumpukan pakaian, bentangan kain, dan setrika. Begitu kami dipersilakan masuk, dia segera masuk ke dalam kamar, berganti pakaian dan membereskan pakaian yang sudah disetrikanya.
 
Aku dan teman-temanku kemudian mengobrol sekadarnya. Sedikit demi sedikit terkuaklah kehidupan pribadinya; anak tertua, membiayai keluarga dan adik-adiknya. Padahal, berapa sih gaji guru jelang tahun 2000 itu?  
 
Beberapa bulan kemudian kami lulus. Puluhan tahun selanjutnya beberapa temanku juga menjadi guru. Kehidupan guru sekarang dan dua puluh tahun lalu, rasanya belum berubah banyak, terutama guru sekolah negeri. 
 

Empati untuk Guru

Usiaku sekarang, mungkin sebaya dengan beberapa guruku di SMA dulu. Aku berusaha mereka-reka, emosi-emosi apa yang ada pada guru-guruku saat kami dulu para muridnya :
asyik bercanda saat ia menjelaskan?
ngobrol ketika ia berbicara di depan kelas?
tertawa-tawa lepas sedangkan ia dihimpit beban kehidupan?
lelah lahir batin tetapi harus tetap mengajar?
kurang piknik padahal sangat butuh bepergian untuk relaksasi?
 
Aku dan teman-temanku dulu, mungkin belum punya pemikiran jauh ke depan, juga belum punya empati tinggi. Kami tengah asyik menikmati masa remaja. Sebagian malah sedang terjangkit virus merah jambu. Masa bodoh dengan segala emosi dan kehidupan pribadi guru. Namun dengan sudut pandang orang dewasa saat ini, aku merasa malu dengan sikap dan perlakuanku pada guru biologi itu, juga beberapa guru lainnya.
 
Seandainya aku kembali ke masa-masa SMA, dengan pemikiran dan pengalaman hidup yang sudah kumiliki saat ini, aku akan berusaha menyingkap, apa yang tersembunyi dibalik omelan seorang guru. Apakah ia sedang kesal dengan dirinya sendiri karena merasa tidak mampu bersabar dengan perilaku bebal murid-muridnya? Mungkinkah ia sedang frustasi karena masalah besar keluarganya? Omelan mungkin cara yang ia lakukan tanpa sadar untuk mengalirkan emosi-emosi negatif dalam dirinya.    
 
Maka, aku hanya bisa merangkai doa, semoga setiap tetes keringat dan air mata para guru dicatat sebagai amal ibadah. Semoga dengan bertambah usia, ia semakin matang dan bijaksana. Guru hanya manusia biasa dengan segala beban masalah keseharian yang dihibur dengan lagu Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Mereka juga masih berkembang dan belum berpengalaman menghadapi badai kehidupan.
 
Di hari guru ini, aku menghaturkan salam hormatku untuk semua guru-guruku dan semua guru-guru di mana saja berada. 
Cari Artikel Lainnya