Home » Kongkow » Cerpen » Terimakasih Ayah, Karenamu Aku Jadi Sarjana

Terimakasih Ayah, Karenamu Aku Jadi Sarjana

- Rabu, 22 November 2017 | 09:43 WIB
Terimakasih Ayah, Karenamu Aku Jadi Sarjana
Hari ini matahari telah menyelesaikan tugasnya, terang telah berubah gelap. Tapi seorang bapak baru saja keluar dari sawah, sedikit mencuci kakinya di saluran irigasi. Sebelum magrib benar-benar usai ia sudah sampai di rumahnya, bukan rumah yang mewah dan besar bak istana tapi hanya sekedar rumah panggung yang beratapkan ijuk.
 
Satu hal yang jelas dalam hidupnya, semua anak-anaknya harus mendapatkan pendidikan yang layak, mungkin kalau bisa pendidikan yang terbaik, kuliah di perguruan tinggi. Pak Dahlan adalah ayah yang terbaik sekaligus menjadi ibu di saat yang di butuhkan. 

Pak Dahlan selalu menasehati 3 anaknya agar tidak menyesal terlahir miskin, Terlahir miskin tidak apa-apa, tapi mati masih miskin itu sudah kelewatan bukan hanya sekedar miskin harta tapi juga miskin ilmu.
 
Bukan hanya memberikan pendidikan formal, pak Dahlan juga memberikan pendidikan agama, mewajibkan setiap anaknya mengaji  seusai sholat magrib. 
 
Malam semakin larut semua mata sudah terpejam, begitu juga dengan pak Dahlan berharap semua sakit yang mendera akan hilang bersama dengan datangnya fajar dan dapat memulai semua aktivitas kembali.
 
Sadar keluarganya bukan siapa-siapa, Ranil tak berharap lebih dari ayahnya itu. Sudah sangat bersyukur rasanya, ayahnya dapat menyekolahkan sampai ke SMA, itu semua sudah lebih dari cukup bagi Ranil.  Namun sekarang pendidikan adik-adiknya lebih penting dipikirkannya.
 
"Lanjutkan terus sekolahmu, nak" kata pak Dahlan suatu malam. Ucapan ayahnya itu sontak membuat Ranil kaget
"Kuliah itu perlu biaya yang besar, ayah tidak akan sanggup" bantah Ranil.
"Insya Allah ayah sanggup" ujar Pak Dahlan seraya menepuk-nepuk pundak anaknya dan berusaha untuk meyakinkan putra sulungnya itu.
 
Tak mau anaknya kecewa, pak Dahlan berusaha untuk mencari pinjaman kesana-sini. Tapi perekonomian semua orang di desa ini sama susahnya. Tak ada jalan lain, pak Dahlan terpaksa menjual padi yang ada di dalam rumah.
 
"Kenapa Bapak jual semua padi itu? Besok bapak mau makan apa? Bapak bisa kelaparan, sementara Bapak harus kerja,” Pertanyaan bertubi-tubi di lontarkan Ranil pada ayahnya.
 
"Untuk besok, besok pula pikirkan. Belum tentu juga kita akan hidup sampai besok" ucap pak Dahlan berkilah santai.
 
Alamdulillah, ternyata uang hasil penjualaan padi itu cukup untuk membiayai keberangkatan ke kota dan uang masuk kuliah anaknya. Pak Dahlan merasa lega kendatipun entah apa yang bakal dialaminya setelah menjalani hari-hari berikutnya untuk membiayai perkuliahan Ranil.
 
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Setelah empat tahun mengikuti pendidikan di perguruan tinggi, Ranil akhirnya berhasil meraih gelar sarjana. Hari itu Ranil di wisuda dan berhak menyandang gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) di belakang namanya. Ranil , S.Pd.
 
Karenamu Ayah, aku jadi sarjana. Ranil tak henti-hentinya bersyukur kepada Allah. Berterima kasih pada ayahnya dan juga kepada dua orang adiknya yang masih di bangku sekolah.
 
Ranil pun akhirnya diterima menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), menjadi seorang guru di sekolah tempat kelahirannya. Alangkah bahagianya Ranil, S.Pd yang kini dipanggil pak guru oleh murid-muridnya di sekolah.Bagi Ranil, kini waktunya untuk meringankan beban orangtuanya.  Membahagiakan ayah dan adik-adiknya.  Dan seketika, kehidupan memberikan kebahagiaan kepada Ranil, Ayah dan adik-adiknya.
Sumber :
Cari Artikel Lainnya