Home » Kongkow » Catatan » "Buku Sebanyak Ini Sudah Dibaca Semua?"

"Buku Sebanyak Ini Sudah Dibaca Semua?"

- Sabtu, 01 Oktober 2016 | 13:42 WIB

Sebagian besar orang yang pernah datang ke rumah saya, akan bertanya hal demikian. Karena sudah terlalu sering ditanya, saya pun punya jawaban standar atas pertanyaan ini.

 

Biar kelihatan agak intelektual dan semacam pengajar, maka saya pun memiliki banyak buku. Saya tak pernah serius menghitung jumlah buku yang saya miliki. Tetapi taksiran kasar saya, jika koleksi buku saya dan istri saya digabung, kalau 7.000 judul sih adalah.

Nah kembali pada pertanyaan di atas, jawaban yang sudah saya siapkan sebagai template itu begini:

Pertama, saya ingin membedakan antara “membeli buku” dan “membaca buku”. Buku untuk saya bukan sekedar hobi, tapi itu merupakan bagian dari pekerjaan. Pekerjaan saya yang berurusan dengan soal meneliti, mengajar, membutuhkan referensi untuk membuat saya tetap “apdet” dengan perkembangan banyak hal.

Ya, saya memang punya minat pada banyak hal: soal sejarah, dunia pers, media (mulai dari sejarahnya, kajian, analisa/studi kondisi terkini, biografi para tokoh penting), politik, sosial, budaya, filsafat, biografi para tokoh, dan lain-lain. Saya mencoba mengumpulkan buku-buku yang saya rasa penting untuk bidang yang saya minati tersebut.

Soal membeli buku dan membaca buku itu saya bedakan betul, karena bukan sekali dua, saya punya pengalaman “menunda pembelian buku” yang kemudian saya sesali karena beberapa minggu kemudian, buku yang saya incar sudah hilang dari rak di toko buku.

Entah karena laku keras atau malah tidak laku, sehingga cepat ditarik dari rak buku. Saya sih lebih percaya yang terakhir, karena itu pengalaman atas buku tulisan saya sendiri... Eaa jadi curcol.

Kedua, di Jakarta ini, atau di Indonesia kalau secara umum, kita tak banyak memiliki perpustakaan yang bagus, yang lengkap, dengan jadwal kunjung yang bersahabat (banyak perpustakaan tutup seperti kantor lain tutup.

Kalau saja ada perpustakaan yang cukup bagus koleksinya dan menampung minat saya yang ke mana-mana, mungkin saya pun tak terdorong untuk mengoleksi buku sebanyak ini.

Saya ingat cerita tentang bagaimana penulis besar di Inggris tak perlu memiliki banyak buku pribadi karena ia cukup pergi ke British Library yang punya koleksi sangat mencengangkan dan penulis tersebut menulis opus magnum-nya dari koleksi di perpustakaan tersebut.

Saya jadi teringat penulis Jorge Louis Borges yang pernah mengatakan: “I have always imagined that Paradise will be a kind of library”.

Ketiga, saya akan pura-pura jadi seorang yang terpelajar dengan mengatakan: “Buku akan mudah diserap jika membacanya dengan suatu niatan tertentu, dengan suatu pertanyaan yang hendak kita carikan jawabannya dari buku tersebut.”

Saya rasa ini betul, bahwa jika kita memiliki suatu pertanyaan yang hendak kita cari, maka kita akan segera mengejar jawaban itu secara cermat, dan terkadang kita bisa melepaskan bab-bab lainnya, namun kita perlu memahami apa konteks besar yang menghasilkan buku tersebut.

Empat tipe membaca

Membaca untuk saya ada beberapa macam: a) membaca sekedar browsing; b) membaca untuk hiburan (seperti membaca novel, komik) alias membunuh waktu; c) membaca karena rutin (membaca koran, membaca situs tertentu untuk mengetahui perkembangan aktual; dan d) membaca karena memang sedang mencari jawaban dari suatu pertanyaan.

Dengan empat jenis membaca ini, maka saya boleh katakan bahwa minimal saya sudah pernah membolak balik 80 persen buku koleksi saya. Tak semua saya baca habis karena ada buku-buku yang saya tunggu momen untuk “mencari jawaban dari suatu pertanyaan”.

Sebagai contoh, saya sedang tertarik membaca situasi Indonesia dan pers Indonesia pada jaman penjajahan Jepang. Buku yang menulis masalah ini tak banyak. Beberapa yang telah ada belum cukup memuaskan saya, dan saya pun terus mencari buku yang kiranya bisa menjabarkan periode waktu itu secara lebih detil.

Tiba-tiba saya mendengar kabar dari seorang teman dari Yogyakarta, dimana ia membelikan 5 volume majalah Djawa Baroe, majalah jaman Jepang untuk hadiah kepada temannya di Jakarta.

Teman tersebut adalah Marco Kusumawijaya, yang ahli perkotaan dan ia menyimpan 5 volume majalah Djawa Baroe tersebut di kantornya di jalan Sunda, Menteng.

Saya sudah melihat koleksi itu dan membaca sedikit. Saya butuh waktu lebih panjang untuk membacanya lebih detil dan mungkin saya akan menuliskan sesuatu hal terkait dengan kondisi pers di jaman Jepang tersebut.

Apakah masih ada alasan lain yang ingin saya ajukan? Ya. Jadi ini poin ke empat dan terakhir.

Keempat, masih terkait dengan soal membeli buku dan membaca buku yang saya bedakan itu, saya mau memberi penjelasan tambahan.

Saya sempat tinggal di Singapura selama dua tahun. Di sana saya terutama sangat menikmati toko besar (dulu) Borders dan (dulu) Kinokuniya. Borders terutama – toko buku Amerika yang punya cabang di Singapura – waktu itu – punya koleksi buku yang bagus, toko buku yang cozy dan juga memiliki koleksi musik dalam format CD yang lumayan lengkap.

Satu kali di Borders ini saya menemukan sebuah buku klasik yang ditulis oleh Elisabeth Einsenstein, The Printing Press as an Agent of Change (1979). Bukunya bersampul warna hijau tua dengan gambar jaman dulu soal proses pencetakan, dan tebalnya kira-kira 600an halaman.

Harganya lumayan mahal, sekitar 60 dollar Singapura. Sebagai mahasiswa yang cekak dan mengandalkan uang beasiswa saja, saya pun berhitung sekali untuk membeli buku penting ini.

Di Borders saat saya mengecek hanya ada tiga kopi buku tersebut, dan tiap kali saya pergi ke Borders saya pasti lewat rak bagian Sejarah Dunia itu, hanya untuk memeriksa apakah buku itu masih tersedia atau tidak.

Begitulah saya selalu mengecek buku tadi, dan saya mulai panik ketika satu hari pas saya datang ke toko buku tersebut, satu kopi sudah hilang dari rak. Jadi sisa dua eksemplar saja. Waduhhhh... gawat nihhh...

Kalau besok ada orang lain tertarik dengan buku ini, maka peluang saya makin tipis untuk memiliki buku penting itu.

Jadilah saya bulatkan tekad untuk membeli buku tersebut, sembari berjanji dalam hati untuk makan hemat dalam satu minggu ke depan.

Akhirnya buku itu pun terbeli satu hari di tahun 1999. Lega hati saya... Beberapa minggu kemudian saya kembali melewati rak buku tersebut dan mendapati lorong yang biasanya dipakai untuk menaruh buku Einstenstein itu sudah tidak ada lagi, saya pun tambah lega... Saya hampir merutuki nasib saya lagi jika buku itu tak lagi saya miliki....

Demikianlah, saya sekarang cukup pede (percaya diri) kalau ada orang bertanya pada diri saya “Apakah semua buku ini sudah pernah kamu baca atau belum?”.

Nah, sekarang anda mau mampir ke rumah saya? Lebih baik jangan bawa tas dan kantong apapun, karena saya pasti akan periksa sebelum anda meninggalkan rumah saya... He he he just kidding.

Tetapi saya mencatat siapapun yang meminjam buku saya berikut tanggal pinjamnya. Percayalah, saya akan jadi debt collector yang baik untuk soal ini.

Cari Artikel Lainnya